Wednesday, September 23, 2015

Memahami Falsafah Teratai

Makna Filosofis Teratai
Teratai diyakini berasal dari Sungai Nil di Mesir, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Sepanjang peradaban manusia bunga ini telah menjadi simbolisasi bagi berbagai agama dan kepercayaan. berikut ini beberapa pelajaran yang dapat diambil dari bunga Teratai.

Bentuk dasar kelopak bunga teratai telah dipergunakan secara meluas di masayarakat kita, mulai dari bentuk dasar institusi pendidikan, keagamaan, organisasi sosial & kemasyarakatan. Denah Borobudur pun bila diamati dengan seksama memiliki bentuk dasar bunga teratai, sampai kepada bentuk dasar stempel kerajaan dan kesultanan masa lalupun memiliki bentuk dasar yang sama, hingga menyentuh khasanah seni kaligrafi dan senibina bangunan dalam Islam. berikut ini beberapa pelajaran yang dapat diambil dari bunga Teratai.

Teratai menyimbolkan perbuatan mulia di lingkungan penuh kekotoran. Habitat teratai menggambarkan tempat yang sama sekali tidak nyaman, kotor, menjijikkan, hina dan sebagainya. Tak jarang orang menganggap bunga teratai sebagai bunga yang tidak berharga dan kotor, yang tidak pantas untuk diraih karena demikian kotornya tempat ia hidup. Bertolak belakang dengan habitat-nya, bunga teratai tampil dengan keanggunan bunganya yang sangat menawan bagi yang melihatnya. Dia hidup penuh keindahan dan kebersihan tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor. Betapapun kotor” dan “hina”nya tempat dia hidup, tapi keindahannya tetap terjaga dengan baik bahkan menambah keindahan pula bagi lingkungan di sekitarnya.

Teratai adalah bunga yang hidup di tiga alam sekaligus, akarnya menghunjam ke lumpur di dasar kolam, batangnya tumbuh di dalam air dan daun dan bunganya menyembul di permukaan air. Selama ia masih hidup teratai tidak akan tenggelam kedalam kolam ataupun kubangan tempatnya hidup.  

Kuncup teratai

Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Tuhan karena Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Tuhan di arah delapan penjuru mata angin.

Kuncupnya mengandung arti yaitu kekuatan yang membumbung tinggi ke atas. Bila air pasang, maka teratai ikut naik, bila air surut, maka akan ikut turun. Makna yang terkandung adalah apapun suasana dan keadaan manusia hendaklah segala sesuatunya selalu disandarkan pada Tuhan. Karena segala sesuatu yang terjadi pada manusia adalah karena Kodrat dan Iradat Tuhan.

Daun pohon teratai pun tumbuh ke arah atas hingga mengambang di atas air dan tidak basah oleh air walaupun itu air kotor sekalipun. Mengandung arti bahwa setelah manusia itu hidup serba kecukupan baik itu ilmu dan harta seyogyanya tidak sombong dan selalu zuhud dengan dunia.

Susunan dan kombinasi antara daun dan bunganya pun sangat serasi dengan lingkungan dimana teratai tersebut hidup. Mengandung arti bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan untuk melengkapi kehidupan. Laksanakan orang ibadah shalat “untuk merapatkan barisan (shaf), agar tidak diisi syetan”. Agar manusia dalam menjalani hidup tidak ada jarak antara satu dan yang lain, sehingga nafsu iri, dengki tidak masuk dalam kehidupan manusia.

Waktu mekarnya teratai sangat singkat, mengingatkan kita bahwa Manusia hidup didunia ini hanya sebentar. Laksana Turun hanya untuk minum. Walaupun sebentar, manusia diharapkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

indahnya teratai merekah

Teratai merupakan bunga yang tak pernah "mati" saat kemarau melingkupi bumi, dia tetap hidup dalam umbinya, terpuruk dalam tanah kering kerontang. Tetapi begitu hujan datang, kuncup bunga akan segera mekar di tengah hijau dedaunan.

Konon Hyang Narayana, Wishnu, Lakshmi, Ganeshya, Brahma dan Saraswati selalu digambarkan duduk di atas bunga teratai raksasa. Makna bunga ini sangatlah tinggi. Teratai hanya dapat tumbuh di lumpur dan air, namun setelah bunganya mekar, maka sulit sekali bahkan untuk benda sebersih apapun untuk melekat di kelopak bunganya karena sangat berminyak.

Bunga teratai sering digunakan sebagai simbol ketidakterikatan. Bagaikan daun bunga teratai yang berada di atas air dan tidak dibasahi oleh air, begitu pula ia yang bekerja tanpa keterikatan dan menganggapnya sebagai persembahan, hidup tanpa noda dan tidak tercemari oleh dunia ini. Ia yang bijak melepaskan segala macam keterikatan dan bekerja dengan raga, pikiran, intelek serta panca inderanya, hanya untuk membersihkan dirinya.

Ia yang bijak tidak mengharapkan sesuatu dari pekerjaannya, demikian ia memperoleh ketenangan jiwa. Sebaliknya ia yang tidak bijak selalu mengharapkan hasil akhir dari apa yang ia lakukan, sehingga tetap saja terikat. Keterikatan membuat manusia takut menghadapi perubahan. Keterikatan membuat manusia ingin mempertahankan sesuatu yang pada dasarnya tidak abadi.

Keterikatan menimbulkan keinginan untuk memiliki dan mempertahankan sesuatu, keadaan maupun orang. Keinginan itu tidak selaras dengan alam. Alam tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan sesuatu. Alam membiarkan terjadinya perubahan, bahkan malah memfasilitasinya, mendukungnya. Kita terikat dengan harta benda yang terkumpul selama hidup, maka kematian menjadi sulit. Sementara itu, alam tidak pernah  sedih karena pergantian musim. Alam tidak pernah menolak perubahan yang terjadi setiap saat

Teratai di kolam gunting Istana Bogor

Kenapa kita terikat pada sesuatu? Karena kita melihat sesuatu itu di luar diri kita, dan timbul keinginan untuk memilikinya. Pernahkah kita merasa terikat dengan ginjal, hati, dan jeroan kita? Kita tidak terikat, karena kita tahu semua itu ada dalam diri kita. Kita bahkan tidak pernah memikirkan mereka. Tidak pernah peduli tentang jantung dan paru, hingga pada suatu ketika kita jatuh sakit…. dan baru mengaduh-aduh. Karena saat itu kita “merasa kehilangan” kesehatan.

Keterikatan pada harta-kekayaan, pada kedudukan, pada keluarga semuanya harus dikikis sedikit demi sedikit. Tidak berarti kita menjadi asosial; tidak berarti kita meningkatkan keluarga. Tidak demikian. Yang penting adalah meninggalkan rasa kepemilikan. Yang penting ialah meninggalkan keterikatan. Dan untuk melepaskan keterikatan-keterikatan semacam itu, cara yang paling gampang adalah meningat kematian. Menyadari bahwasannya hidup ini bersifat fana, seperti halnya masa hidup teratai yang teramat singkat.

Keterikatan adalah ketergantungan dan kepercayaan kita pada pujian, pada imbalan, pada penghargaan dan pengakuan. Selama kita masih mengejar semuanya itu, kita masih terikat. 
Berkaryalah, tapi janganlah terikat pada hasilnya. Layanilah keluarga dan cintailah mereka, tapi tanpa keterikatan. Keterikatan bukan cinta.

Para leluhur kita mempunyai pitutur luhur, nasehat yang mulia agar kita melakukan “Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe”. Agar semua energi kita terfokus pada pekerjaan dan tidak terfokus pada hasil sehingga energi untuk bekerja kurang maksimal. Pendekatan para leluhur lebih mendekati “Management by Process”. Dalam hal spiritual, dapat dimaknai agar kita tidak terikat pada tujuan keduniawian atau tujuan atau pamrih apa pun. Dasarnya adalah bekerja sebagai persembahan pada kehidupan semata. 

Hanya seorang Master yang menguasai kehidupan. Seorang Master ibarat bunga teratai yang memberikan kebahagiaan kepada sekelilingnya. Kaki dia masih terikat pada lumpur keduniawian, tetapi dia tidak terikat dengan lumpur tersebut, dia muncul ke permukaan memberikan kebahagiaan. Melepaskan keterikatan berarti melepaskan rasa kepemilikan. Tuhan adalah Pemilik tunggal semuanya ini. Anda ada atau tidak, dunia ini akan tetap ada.

------------------------------------------

Baca Juga