Watu Gilang atau Palangka Sriman Sriwacana |
Palangka Sriman Sriwacana adalah batu berukuran
200x160x20cm, terbuat dari batuan andesit yang dibentuk persegi panjang lalu
permukaannya digosok hingga mengkilap, merupakan piranti penobatan Raja
Pajajaran. digunakan sebagai tempat duduk bagi calon raja yang akan di nobatkan
sebagai raja Pajajaran. Nama asli batu
ini adalah Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja). Nama Palangka
Sriman Sriwacana disebut dalam naskah carita parahyangan sebagai berikut :
“Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka sriman sriwacana sri
baduga maharajadiraja ratu haji di pakwan pajajaran nu mikadatwan sri bima
punta narayana madura suradipati, inyana pakwan sanghiyang sri ratu dewata”.
(Sang susuktunggal ialah yang membuat tahta sriman sriwacana untuk sri
baduga maharaja, ratu penguasa di pakuan pajajaran yang bersemayam di keraton
sri bima punta narayana Madura suradipati yaitu istana sanghiyang sri ratu
dewata)
Sang Susuktunggal adalah raja dari kerajaan Galuh, saudara
kandung Prabu Dewa Niskala raja Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan /
Pajajaran. Sri Baduga Maharaja adalah putra mahkota kerajaan Pajajaran, Putra
dari Prabu Dewa Niskala, Cucu dari Prabu Niskala Wastu Kencana, cicit dari
Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur tahun 1357 di Perang
Bubat melawan Majapahit.
Sri Baduga Maharaja kemudian lebih dikenal sebagai Prabu
Siliwangi, karena dianggap meneruskan kejayaan kakek buyutnya, Prabu Maharaja
Lingga Buana yang namanya harum mewangi sebagai pahlawan di perang Bubat.
Rakyat parahyangan kemudian dengan penuh hormat menyebut Prabu Lingga Buana
dengan nama Prabu Wangi. Sri Baduga digelari Siliwangi, Sili bermakna ‘penerus’
sehingga siliwangi dapat diartikan sebagai Penerus Prabu Wangi yang gugur di
perang Bubat.
Benda cagar budaya berdasarkan UU No.5 Tahun 1992 |
Merujuk kepada penggalan carita parahyangan diatas, Sri
Baduga merupakan Raja Pajajaran pertama yang dinobatkan diatas Palangka Sriman
Sriwacana. Begitupun beberapa penerusnya mulai dari Prabu Surawisésa
(1521-1535, putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayang Sunda), Prabu
Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Nilakéndra (1551-1567) hingga ke Prabu
Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Dengan fungsinya yang demikian, dapat
dibayangkan betapa tingginya pamor dari batu yang bernama Palangka Sriman
Sriwacana tersebut pada masa itu.
Dimasa pemerintahan Prabu Nilakendra, tahun 1566 Pajajaran
diserbu oleh pasukan kesultanan Banten dibawah pimpinan Maulana Yusuf atas
perintah Ayahnya Maulana Hasanudin yang berkuasa di Banten dan atas restu
kakeknya, Sunan Gunung Jati di Cirebon. Serbuan itu menyebabkan Prabu
Nilakéndra dan kerabat keraton menyelamatkan diri meninggalkan keraton di
Pakuan, dan menjalankan pemerintahan di pengasingan. Praktis kerajaan Pajajaran
runtuh setelah penyerangan tersebut. Sejak saat itu ibukota Pakuan ditinggalkan
oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang
ditinggalkan
Sepeniggal Prabu Nilakendra, kepemimpinan diteruskan oleh
Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana yang menjalankan pemerintahan di
pengasingan, di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai
Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo,
Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).
Penghianatan
Pakuan Pajajaran luluh lantak, akibat serangan kedua dari
pasukan kesultanan Banten dibawah pimpinan Maulana Yusuf. Serbuan tersebut
terjadi pada tahun 1579 atau
dua belas tahun sejak serangan pertama. Benteng kota Pakuan yang dibangun pada
masa Prabu Siliwangi memang sangat kokoh meski sudah 12 tahun ditinggalkan oleh
para penguasanya. Pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk
menembusnya.
Naskah Banten memberitakan bahwa benteng kota (pakuan)
Pajajaran baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal
benteng Pakuan Pajajaran merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan
pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Maulana Yusuf. Tengah
malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu
benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Kerajaan Sunda benar benar berahir ditandai dengan
dikuasainya kota Pakuan oleh pasukan Banten, dan diboyongnya Palangka
Sriman Sriwacana sebagai piranti penobatan raja, dari Pakuan
Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf, dan secara tradisi politik di Pakuan
Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang
meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak.
Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka
dikenal sebagai orang Baduy.
Sang Pewaris
Dari garis keturunan, Maulana Yusuf sendiri merupakan penerus
kekuasaan Sunda yang sah karena beliau juga keturunan Prabu Siliwangi, raja Kerajaan Sunda. Maulana Yusuf adalah
anak dari Maulana Hasanudin, anak dari Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayat. Sunan
Gunung Jati adalah anak tertua dari Nyi Rara Santang yang tak lain adalah anak
kedua dari Prabu Siliwangi dari istrinya Subang Larang.
Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 meriwatkan
keruntuhan Pajajaran tersebut dengan kalimat : “Pajajaran sirna ing ekadaśa
śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala” (Pajajaran
lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Tanggal
tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M. sedangkan naskah Banten
memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke
Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya, "Waktu keberangkatan itu terjadi
bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu".
Sendiri dalam sunyi |
Pamor Yang Pudar
Di keraton Surosowan, Palangka Sriman Sriwacana masih
difungsikan sebagai piranti penobatan raja namun tentu saja dengan prosesi yang
berbeda. Sampai ahirnya kesultanan Banten runtuh oleh imperialis Belanda,
keraton Surosowan pun hancur, menandai berahirnya kesultanan Banten.
Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan
di depan bekas Keraton Surosowan di kawasan Banten Lama.
Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri,
sama artinya dengan kata Sriman. Lokasi tempatnya berada saat ini sangat
kontradiktif dengan kemegahan masa lalu nya. Orang awam yang melihatnya pun tak
kan tahu bila sebidang batu tua yang tak lagi mengkilap tergerus zaman di ruang
terbuka berpagar seadanya itu, pada masa nya adalah piranti teramat penting
bagi penobatan seorang Raja.
-----------------------------------
------------------------------------
Siapakah Raden Kian Santang ?
Apakah Kian Santang adalah Pangeran Cakrabuana ?
Siapakah Kian Santang (Bagian ahir)
Siapakah Prabu Siliwangi ?
Dimanakah Makam Prabu Siliwangi ?
Salakanagara Benarkah Pernah Ada ?
Negara Api Itu Memang Pernah Ada Loh
No comments:
Post a Comment