|
📍❤ |
Supir taksi mengantar kami di lobi
depan
marina bay sand, bangunan pusat perbelanjaan yang tampaknya bahkan jauh
lebih luas dari hanggar pesawat fixed wing-nya PT. Dirgantara Indonesia di
Bandung, tempat dulu aku harus lari pagi mengelilinginya dari senin hingga Jum’at
dengan jingle-jingle ala tentara.
Cukup menarik untuk sekedar
menikmati suasana dalam supermall yang dilengkapi dengan
aliran kanal dilantaidasarnya tempat perahu ala venesia wara wiri membawa penumpang lengkap dengan
landscape indoor ala hutan tropis bersama gemericik air yang jatuh dari atap ke
permukaan air.
Tak terlalu menarik untuk explore
lebih jauh didalam-nya apalagi untuk belanja. Mataku lebih tertarik dengan
pemandangan yang tampak dari balik dinding kaca di dipintu akses yang
berlawanan dengan pintu tempat kami masuk tadi. Tampak hamparan air laut
berlatar gedung gedung menjulang disana.
Aku memilih keluar Gedung menikmati
suasana diluar lalu menepi ke platform yang dibangun ditepian pantai menghadap
kelaut. Masih pagi matahari belum terlalu terik, menemani ayahku ngobrol ngalar
ngidul tanpa topik. Obrolan santai antara anak laki laki dan ayahnya.
Ayahku memang sudah tidak kuat
untuk berjalan jauh, sehingga kursi roda harus selalu dibawa saat berpergian
dengan nya. Obrolan kami berdua asik asik saja, membahas gedung apa saja yang
tampak berjejer menjulang kelangit diseberang teluk tempat kami berdiri.
Beberapa diantaranya termasuk patung
merlion yang kami kunjungi sehari sebelumnya tampak jelas dari sana. Sejatinya Kawasan
itu adalah kawasan kota tuanya Singapura, meski pemandangannya kini sama sekali
tak lagi tampak sebagai sebuah kawasan kota tua.
Selama diperjalanan dari tempat
kami menginap di Tanjung pagar hingga ke tempat ini, supir taksi tadi bercerita
bahwa kawasan marina (yang menjadi tujuan kami) itu dulunya adalah salah satu
tempat sandarnya kapal kapal dari berbagai negara termasuk dari Indonesia,
dulunya disana menjadi tempat berkumpulnya para pelaut Indonesia bla bla dan
seterusnya.
Dan saat hanya berdua dengan
ayahku disana, aku seolah mendengar lanjutan cerita supir taksi tadi dari ayahku.
Tak kuduga ayahku bekisah tentang (mendiang) abang semata wayangnya yang sepanjang
karirnya dihabiskan mengarungi samudera sebagai nakhoda kapal.
Dan pelabuhan Singapura begitu sering
dibacanya dari setiap lembar surat abangnya yang dikirim dari kantor pos di marina,
bisa jadi kantor pos yang dimaksud adalah kantor pos besar Singapura alias
Fullerton Building yang kini berubah menjadi museum dan pelataran depan nya
menjadi titik nol Singapura.
Dalam diam aku menangkap semburat
rasa bangga diwajahnya atas pencapaian abangnya, ada aura bahagia saat menceritakan
bahwa surat surat itu juga datang bersamaan dengan selembar wesel pos untuk ibu
mereka yang tentu saja adalah nenek-ku.
Sejujurnya ku kehilangan kata
walau hanya untuk sekedar berkomentar singkat, ayah bahkan masih ingat nama
bank yang seringkali disebut oleh abangnya dulu, namun tak menemukan nama bank
dimaksud di jejeran nama nama Gedung jangkung disana.
Kutunjukkan pada ayahku Gedung bank
yang dimaksud yang memang tepat diseberang kami berdiri. Masih ada disana meski
telah menjadi Gedung pencakar langit dan sudah berubah nama.
Dalam diam aku berucap syukur
pada Allah Subhanahuwatala diberi kesempatan menemani ayah dan ibuku berkunjung
ke suatu tempat yang bisa jadi sudah menjadi angan mereka sejak berpuluh puluh
tahun yang lalu. Masih dalam diam dilubuk hati paling dalam ada sepercik
harapan semoga suatu saat nanti Allah berkenan memberiku kesempatan menemani
ayah dan ibuku berhaji.
Hand phone berdering, adikku yang
menyusul kami memberi tahu dia sudah tiba di lobbi Gedung dan menanyakan posisi
kami. Obrolan kami terhenti, kudorong kursi roda ayahku, bertiga dengan ibuku,
kami masuk kembali ke dalam gedung.
Malam harinya kami rayakan hari
jadi pernikahan ayah dan ibu kami yang ke 50 tahun dengan cara sederhana, dan bakda
sholat subuh keesokan harinya aku berpamitan untuk pulang duluan ke Jakarta
dengan dengan pesawat paling pagi berharap memungkinkan untuk langsung
berangkat ketempat kerja. Subuh itu, untuk pertama kali setelah sekian puluh
tahun kurasakan lagi pelukan hangat ibuku saat aku berpamitan.
No comments:
Post a Comment