Apakah Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja ataukah Gelar bagi seluruh Raja Pajajaran ?
Sejarah tak pernah berpihak pada yang kalah. Sejarah yang anda baca
tergantung pada siapa yang menulisnya. Penggalan dua kalimat itu seringkali
kita baca dan kita dengar. Terkadang terasa ada benarnya. Bagaimanapun tak ada kebenaran
yang hakiki ditangan manusia ahir zaman seperti kita. Prabu siliwangi, nama
yang begitu harum seperti namanya, terutama di tatar pasundan sejarahnya
ditulis dan dikenang dengan berbagai versi dan maksud masing masing. Perjalanan
hidup beliau begitu melegenda dan meninggalkan begitu banyak hikmah dan
pelajaran berharga sekaligus meninggalkan begitu banyak tanya.
Nama besarnya dikenang dalam berbagai kesempatan. Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat mengabadikan namanya sebagai nama Komando Daerah
Militer di wilayah propinsi Jawa Barat dan Banten dengan nama Kodam III Siliwangi, TNI Angkatan Laut juga
pernah mengabadikan namanya sebagai nama kapal perang perusak
kelas Skoryy buatan Uni Soviet dan dibeli dari Polandia tahun 1964 dengan
nama RI
Siliwangi. Nama beliau juga dipakai oleh berbagai organisasi pemuda dan
kemasyarakatan, lembaga pendidikan, bangunan pendidikan hingga nama jalan
protokol.
Siapakah Prabu
Siliwangi
Ada dua pendapat tentang siapakah sebenarnya yang disebut Prabu
Siliwangi ?.namun dapat ditarik satu garis merah bahwa kedua pendapat tersebut
sepakat bahwa Siliwangi dari sudut pandang Bahasa Sunda, terdiri dari dua kata
yaitu; SILI yang secara umum berarti penerus, dan WANGI secara umum bermakna
harum mewangi. Namun WANGI yang dimaksud disini ditujukan kepada harumnya nama Prabu
Maharaja Lingga Buana yang gugur bersama seluruh pasukannya, membela kedaulatan
Kerajaan Pajajaran dalam perang Bubat melawan pasukan Majapahit.
Dalam perang Bubat, pasukan Pajajaran kalah jumlah dengan pasukan
Majapahit, dan Prabu Maharaja Lingga Buana memutuskan melakukan perang habis
habisan atau perang puputan melawan pasukan Majapahit demi membela negaranya.
Perang Bubat dicatat dalam sejarah Nasional sebagai salah satu perang besar
yang pernah terjadi di tanah Jawa dan merupakan salah satu penyebab dari
melemahnya kerajaan Majapahit. Karena keberanian dan kebesaran Jiwa nya dalam
membela negara itulah Nama beliau begitu mewangi di Pajajaran hingga digelari
sebagai Prabu Wangi. Dan dari sana pulalah Nama Siliwangi bermula.
Lukisan kapal perang RI Siliwangi 201 (foto dari Wikipedia), kapal perang perusak yang pernah memperkuat armada TNI Angkatan Laut, dibeli dari Polandia tahun 1964. Saat ini sudah tidak beroperasi. |
I. Prabu Siliwangi
adalah Sri Baduga Maharaja
Pendapat pertama yang paling
populer mengatakan bahwa Prabu Siliwangi adalah Nama Sebutan atau nama
panggilan kehormatan kepada Pangeran Jayadewata alias Raden Pamanah Rasa yang
ketika dinobatkan sebagai Maharaja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Disebut
Maharaja karena memang beliau bertahta tidak hanya untuk satu kerajaan tapi
menjadi raja bagi dua kerajaan sekaligus. Kerajaan Pajajaran atau ada juga yang
menyebutnya sebagai Kerajaan Sunda yang dipimpinnya merupakan gabungan kerajaan
Pakuan yang berpusat di Bogor dan Kerajaan Galuh.
Beliau disebut sebagai Siliwangi atau Penerus Prabu Wangi karena telah
mengembalikan kebesaran Kerajaan Sunda seperti pada masa kakek buyutnya, Prabu
Wangi. Disamping itu beliau juga telah kembali menyatukan kerajaan yang
terpecah (Galuh dan Sunda/Pakuan), dua kerajaan yang disandingkan dengan
kesetaraan dan kesejaraan hingga menjadi Pajajaran dan pada masa kekuasaan
beliau Kerajaan mencapai kegemilangan yang luar biasa.
Sri Baduga Maharaja adalah anak laki laki dari Raja Sunda/Galuh yang
bernama Prabu Dewa Niskala anak dari Prabu Niskala Wastu Kencana atau Prabu
Raja Wastu, anak dari Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di perang Bubat.
Pada saat Prabu Maharaja Lingga Buana gugur di Perang Bubat (1357), saat itu
Pangeran Niskala Wastu Kencana masih kanak kanak, bila di hitung dari tahun
gugurnya Prabu Lingga Buana di Bubat tahun 1357 sampai dengan tahun 1371 pada
saat beliau dinobatkan sebagai Raja pada usia 23 tahun, itu berarti pada saat
ayahnya gugur beliau baru berumur sekitar 9 tahun.
Itu sebabnya kemudian tahta kerajaan sementara waktu dipegang oleh
Pangeran Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora atau Prabu Kuda Lalean atau Dalam
BABAD PANJALU (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut PRABU BOROSNGORA. Selain itu ia
pun dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang
ulung), beliau adalah adik dari Prabu Maharaja Lingga Buana, memegang kendali
kerajaan sampai Pangeran Niskala Wastu Kencana mencapai usia dewasa.
Pangeran Niskala Wastu Kencana dinobatkan sebagai raja pada tahun 1371
bergelar Prabu Raja Wastu dan berkuasa hingga tahun 1475. Beliau memiliki dua
permaisuri, permaisuri pertama bernama Lara Sarkati berasal dari Lampung,
darinya lahir seorang putra bernama Sang Haliwungan. Permaisuri kedua adalah
adik sepupunya sendiri, anak dari pamannya Prabu Bunisora, yang bernama
Mayangsari, darinya lahir seorang putra bernama Ningrat Kencana. Di penghujung
masa kekuasaannya beliau membagi dua kerajaannya untuk menghindari perebutan
tahta kerajaan oleh dua putra-nya. Sang Haliwungan dinobatkan sebagai Raja Sunda/Pakuan
bergelar Prabu Susuktunggal. Ningrat Kencana dinobatkan sebagai Raja Galuh
bergelar Prabu Dewa Niskala.
Gedung Detasemen Markas KODAM III Siliwangi – Bandung.
|
Ditahun 1482 kerajaan Galuh dan Pakuan kembali bersatu di bawah pemerintahan Pangeran Jaya Dewata yang setelah dinobatkan sebagai Maharaja bergelar Sri Baduga Maharaja. Hal ini dimungkinkan setelah Pangeran Jayadewata putra dari Prabu Dewa Niskala menikah dengan Ketring Manik Mayang Sunda, putri dari Prabu Susuktunggal. Di tahun itu Terjadi perpindahan pusat kekuasaan ke Pakuan (Bogor) dengan iring iringan yang teramat panjang dan meriah. di Pakuan Jawadewata dinobatkan diatas Palangka Sriman Sriwacana yakni tempat duduk terbuat dari batu mengkilap yang digunakan dalam prosesi penobatan raja raja Sunda.
Dibawah Pemerintahan Sri Baduga Maharaja ini nama Pajarajaran sebagai nama resmi Kerajaan. sebagai penghormatan dengan mensejajarkan dua kerajaan yang diwarisi dari Ayahandanya sendiri dan dari paman sekaligus mertuanya. Kegemilangan Pajajaran di bawah pemerintahan Jaya Dewata dan bersatunya kembali dua kerajaan itu mengingatkan rakyat kepada kebesaran nama Prabu Maharaja Lingga Buana atau prabu Wangi yang gugur di perang Bubat, dan menjulukinya sebagai Siliwangi, dan nama julukan itu hanya dinisbatkan kepada dirinya.
II. Siliwangi Ada Banyak
Pendapat kedua menyatakan bahwa, yang disebut Prabu Siliwangi itu bukan hanya Pangeran Jayadewata alias Sri Baduga Maharaja saja tapi juga sebutan bagi seluruh raja Pajajaran yang semuanya adalah Penerus atau Sili dari Prabu Wangi atau Prabu Maharaja Lingga Buana. Pendapat kedua ini sepertinya lebih kepada menekankan kepada makna atau arti dari Siliwangi. Bukan kepada sebuah gelar yang diperuntukkan khusus secara unik kepada seseorang. Pendapat kedua ini memang tidak populer meski memang secara Bahasa dapat diterima oleh semua pihak.
Pajajaran Paska Sri Baduga Maharaja
Berdirinya Cirebon Sebagai Kesultanan
Di penghujung kekuasan Sri Baduga Maharaja, beliau dihadapkan kepada suatu dilema yang cukup pelik, antara cinta seorang kakek kepada cucunya dengan upaya mempertahankan keutuhan kerajaan. Pangeran Cakrabuana yang berkuasa di Cirebon sebagai raja bawahan Pajajaran menyerahkan kepemimpinan Cirebon kepada menantu sekaligus keponakannya, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, menjadi awal berdirinya Kesultanan Cirebon yang melepaskan diri dari Kekuasaan Pajajaran.
Pangeran Jayadewata atau Sri Baduga Mahara memilki tiga Istri. Istri pertamanya adalah Ambet Kasih (putri dari Ki Gde Sindang Kasih), Lalu Subang Larang (putri dari Ki Gde Ing Tapang, penguasa Singapura (Cirebon saat ini) dan Kentring Manik Mayang Sunda (Putri Pamannya, Prabu Susuktunggal). Dari Subang Larang lahir Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang, Putri Lara Santang dan Kian Santang.
Logo KDAM II Siliwangi |
Pangeran Cakrabuana kemudian ditunjuk oleh Sri Baduga sebagai penguasa Cirebon sebagai raja bawahan Pajajaran. Dikemudian hari Pangeran Cakrabuana menikahkan putri tunggalnya yang bernama Pakungwati dengan Keponakannya (putra kedua dari Lara Santang) yang bernama Syarif Hidayatullah, sekaligus menyerahkan tahta Cirebon kepada menantunya. Tahun 1479 Setahun setelah berdirinya Kesultanan Demak, Cirebon pun memproklamirkan diri sebagai kesultanan melepaskan diri dari pengaruh Pajajaran. Syarif Hidayat dinobatkan sebagai Sultan-nya dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Lepasnya Banten dan Sunda Kelapa dari Pajajaran
Pajajaran sempat mengirimkan pasukan untuk menyerbu Cirebon namun gagal. Bisa jadi itu adalah sebuah serbuan setengah hati dari seorang kakek kepada cucunya. atau memang karena kondisi Pajajaran sendiri yang memang tidak memungkinkan untuk menaklukkan Cirebon. Di era yang sama Pangeran Surawisesa (putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayang Sunda) mulai bekerja sama dengan Portugis untuk memperkuat militer Pajajaran terutama untuk mempertahankan Sunda Kelapa, hal itu yang malah memicu serbuan besar besaran dari pasukan Gabungan Demak, Cirebon dan Banten ke Sunda Kelapa dengan tujuan utama mengusir Portugis dan menguasai Sunda Kelapa kembali, dan peristiwa itu kemudian setiap tahun diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta.
Perdamaian dengan Cirebon
Sepeninggal Sri Baduga Maharaja, Pangeran Surawisesa menjadi raja Pajajaran, selama kekuasannya terlah terjadi 15 kali pertempuran termasuk pertempuran melawan Cirebon. Peperangan demi peperangan semakin memperkokoh kekuatan Cirebon hingga ke sisi timur Sungai Citarum, di pantai utara Cirebon juga sudah menguasai Banten dan di pimpin oleh Maulana Hasanudin, putra Syarif Hidayat, dan Sunda Kelapa yang berganti nama menjadi Jayakarta dibawah pimpinan Fatahillah. kondisi yang sedemikian itu ahirnya membuat kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayatullah. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fatahillah (penguasa Jayakarta) dan Hasanudin (Penguasa Banten).
Penyesalan Prabu Surawisesa di Batu Tulis
Di tahun 1533, dua belas tahun setelah wafatnya Sri Baduga Maharaja, Prabu Surawisesa membuat Sasakala (tanda / prasasti peringatan) untuk mengenang kebesaran ayahandanya, barangkali juga sebagai bentuk penyesalan dan rasa bersalah kepada ayahandanya karena tidak mampu mempertahankan keutuhan dan kebesaran Pajajaran yang diwariskan ayahandanya. Prasasti yang kini dikenal sebagai batu tulis. Tatanan prasasati sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Prabu Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Pemasangan batutulis itu juga bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Dari makna prasasti batu tulis tersebut, jelas sekali bahwa Prabu Surawisesa mengakui dirinya tidaklah sebanding dengan ayahandanya. bahkan menolak menorehkan namanya di prasasti yang dia buat sendiri. Pajajaran tidak pernah kembali ke kejayaan Sri Baduga Maharaja, bahkan Nilakendra, raja Pajajaran ke lima harus melarikan diri dari Kraton di Pakuan menghindari serbuan dari Kesultanan Banten dan Raja Ke enamnya memerintah dari pengasingan sampai ahirnya Pajajaran dinyatakan berahir dengan diboyongnya Palangka Sriman Wacana ke Banten setelah Pakuan tidak berdaya menahan serbuan terahir Banten ke kraton Pajajaran di Pakuan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, saya pribadi berkesimpulan bahwa Prabu Siliwangi adalah gelar yang diberikan oleh rakyat Pajajaran kepada Sri Baduga Maharaja sebagai bentuk penghormatan atas kebesaran kekuasaan beliau. Keagungan pribadi-nya membuat beliau juga digelari sebagai Pangeran Pamanah Rasa karena kehalusan dan keluhuran budi pekertinya dan kemampuannya dalam memerintah telah menjadikan Pajajaran sebagai kerajaan besar pada masa nya dan dikenang hingga kini. Wallahua'lam.***
Cikarang, 2 Nopember 2015
-----------------------------------
Follow
akun instagram kami di @masjidinfo
| @masjidinfo.id
| @hendrajailani
------------------------------------
Baca Juga
No comments:
Post a Comment