SUARA RAKYAT SUARA TUHAN, Kalimat ini marak
digunakan lagi. Dan kebanyakan dipakai oleh para politisi penolak Rancangan
Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah yang mewacanakan pemilihan kepala daerah
oleh DPRD, alias tidak lagi dengan metoda pemilihan langsung oleh rakyat
seperti yang telah beberapa kali berjalan.
Saya tidak akan membahas tentang RUU Pilkada
itu, hanya saja benar benar merasa terusik oleh kalimat itu. Sejujurnya saya tak
telalu heran dengan laku lampah mereka yang bertarung di kancah politik
bertajuk demokrasi. Namun lagi lagi, hanya saja, benar benar luar biasa hingga
sampai ke batasan itu.
Saya juga rakyat lho, dan “demi dzat yang
menguasai langit dan bumi serta se-isinya” saya katakan bahwa SAYA BUKAN TUHAN. Sehingga
suara saya pun bukan suara Tuhan. Suara mahluk se-isi dunia ini pun bila
digabung jadi satu tetap saja adalah suara mahluk dan tidak akan pernah berubah
menjadi suara tuhan.
Tuhan tak pernah salah pilih. Dan tak akan
tertipu oleh aktor penebar pesona dan pelaku pencitraan paling ulung se-dunia dan
ahirat sekalipun. Lalu tuhan macam apa yang tertipu dengan
pilihannya sendiri, tuhan macam apa pula yang suka berdemo karena suaranya telah di khianati.
Anggota DPR dan DPRD yang saat ini sedang
menjabat itu pun dipilih oleh rakyat secara langsung. BILA (memang) suara rakyat
adalah suara tuhan MAKA berarti mereka semua sudah dipilih oleh
suara Tuhan. Bila memang sudah mutlak yakin bahwa suara rakyat adalah suara
tuhan, lalu kenapa ribut ribut menyatakan ketidaksetujuan dengan tingkah
polah mereka yang sudah dipilih oleh suara tuhan?.
Bukankah kebenaran tidak ditentukan oleh
seberapa banyak yang menyatakannya benar. Karena bila kebenaran ditentukan oleh
suara terbanyak maka kita tidak perlu sang juru salamat, yang menyelamatkan
manusia dari zaman kegelapan. Bila suara mayoritas adalah kebenaran hingga
dianggap sebagai suara tuhan, maka tuhan pun (pastinya) tidak akan pernah
mengutus para utusannya ke muka bumi.
Akan tetapi bila memang sudah sangat yakin
bahwa ‘suara rakyat adalah suara tuhan’ maka jangan salahkan bila terjadi
keterjepitan suara minotitas atas suara mayoritas. Itu adalah buah dari sikap
yang 'menuhankan rakyat’hingga suaranyapun dianggap sebagai suara tuhan.
BILA suara rakyat adalah memang suara tuhan,
MAKA sama saja dengan mengakui bahwa rakyat adalah tuhan. Bila “nama tuhan”nya
adalah “rakyat”, lalu kira kira apa nama agamanya ya?. Kenapa tidak sekalian saja ganti
KTP untuk ganti status agama yang sekarang dengan agama baru dari ‘tuhan’ yang
bernama ‘rakyat’. aji mumpung kolom agama di KTP belom kadung dihapus.
No comments:
Post a Comment