Makna Filosofis Teratai |
Teratai diyakini
berasal dari Sungai Nil di Mesir, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk
ke Indonesia. Sepanjang peradaban manusia bunga ini telah menjadi simbolisasi
bagi berbagai agama dan kepercayaan. berikut ini beberapa pelajaran yang dapat
diambil dari bunga Teratai.
Bentuk dasar kelopak
bunga teratai telah dipergunakan secara meluas di masayarakat kita, mulai dari
bentuk dasar institusi pendidikan, keagamaan, organisasi sosial &
kemasyarakatan. Denah Borobudur pun bila diamati dengan seksama memiliki bentuk
dasar bunga teratai, sampai kepada bentuk dasar stempel kerajaan dan kesultanan
masa lalupun memiliki bentuk dasar yang sama, hingga menyentuh khasanah seni
kaligrafi dan senibina bangunan dalam Islam. berikut ini beberapa pelajaran
yang dapat diambil dari bunga Teratai.
Teratai menyimbolkan perbuatan mulia di lingkungan penuh kekotoran. Habitat teratai menggambarkan tempat yang sama sekali tidak nyaman, kotor, menjijikkan, hina dan sebagainya. Tak jarang orang menganggap bunga teratai sebagai bunga yang tidak berharga dan kotor, yang tidak pantas untuk diraih karena demikian kotornya tempat ia hidup. Bertolak belakang dengan habitat-nya, bunga teratai tampil dengan keanggunan bunganya yang sangat menawan bagi yang melihatnya. Dia hidup penuh keindahan dan kebersihan tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor. Betapapun “kotor” dan “hina”nya tempat dia hidup, tapi keindahannya tetap terjaga dengan baik bahkan menambah keindahan pula bagi lingkungan di sekitarnya.
Teratai menyimbolkan perbuatan mulia di lingkungan penuh kekotoran. Habitat teratai menggambarkan tempat yang sama sekali tidak nyaman, kotor, menjijikkan, hina dan sebagainya. Tak jarang orang menganggap bunga teratai sebagai bunga yang tidak berharga dan kotor, yang tidak pantas untuk diraih karena demikian kotornya tempat ia hidup. Bertolak belakang dengan habitat-nya, bunga teratai tampil dengan keanggunan bunganya yang sangat menawan bagi yang melihatnya. Dia hidup penuh keindahan dan kebersihan tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor. Betapapun “kotor” dan “hina”nya tempat dia hidup, tapi keindahannya tetap terjaga dengan baik bahkan menambah keindahan pula bagi lingkungan di sekitarnya.
Teratai adalah bunga yang hidup di tiga alam sekaligus, akarnya menghunjam ke lumpur di dasar
kolam, batangnya tumbuh di dalam air dan daun dan bunganya menyembul di
permukaan air. Selama ia masih hidup teratai tidak akan tenggelam kedalam kolam
ataupun kubangan tempatnya hidup.
Kuncup teratai |
Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Tuhan karena Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Tuhan di arah delapan penjuru mata angin.
Kuncupnya mengandung arti yaitu kekuatan yang membumbung tinggi ke
atas. Bila air pasang, maka teratai ikut naik, bila air surut, maka akan ikut
turun. Makna yang terkandung adalah apapun suasana dan keadaan manusia
hendaklah segala sesuatunya selalu disandarkan pada Tuhan. Karena segala sesuatu yang
terjadi pada manusia adalah karena Kodrat dan Iradat Tuhan.
Daun pohon teratai pun tumbuh ke arah atas hingga mengambang di atas air dan tidak basah oleh air walaupun itu air kotor sekalipun. Mengandung arti bahwa setelah manusia itu hidup serba kecukupan baik itu ilmu dan harta seyogyanya tidak sombong dan selalu zuhud dengan dunia.
Susunan dan kombinasi antara daun dan bunganya pun sangat serasi
dengan lingkungan dimana teratai tersebut hidup. Mengandung arti bahwa
manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan untuk melengkapi kehidupan. Laksanakan orang
ibadah shalat “untuk merapatkan barisan (shaf), agar tidak diisi syetan”. Agar
manusia dalam menjalani hidup tidak ada jarak antara satu dan yang lain,
sehingga nafsu iri, dengki tidak masuk dalam kehidupan manusia.
indahnya teratai merekah |
Teratai merupakan bunga yang tak pernah "mati" saat kemarau melingkupi bumi, dia tetap hidup dalam umbinya, terpuruk dalam tanah kering kerontang. Tetapi begitu hujan datang, kuncup bunga akan segera mekar di tengah hijau dedaunan.
Konon Hyang Narayana, Wishnu, Lakshmi, Ganeshya, Brahma dan Saraswati
selalu digambarkan duduk di atas bunga teratai raksasa. Makna bunga ini
sangatlah tinggi. Teratai hanya dapat tumbuh di lumpur dan air, namun setelah
bunganya mekar, maka sulit sekali bahkan untuk benda sebersih apapun untuk
melekat di kelopak bunganya karena sangat berminyak.
Bunga teratai sering digunakan sebagai simbol ketidakterikatan. Bagaikan
daun bunga teratai yang berada di atas air dan tidak dibasahi oleh air, begitu
pula ia yang bekerja tanpa keterikatan dan menganggapnya sebagai persembahan,
hidup tanpa noda dan tidak tercemari oleh dunia ini. Ia yang bijak
melepaskan segala macam keterikatan dan bekerja dengan raga, pikiran, intelek
serta panca inderanya, hanya untuk membersihkan dirinya.
Ia yang bijak tidak mengharapkan sesuatu dari pekerjaannya, demikian
ia memperoleh ketenangan jiwa. Sebaliknya ia yang tidak bijak selalu
mengharapkan hasil akhir dari apa yang ia lakukan, sehingga tetap saja terikat. Keterikatan membuat manusia takut
menghadapi perubahan. Keterikatan membuat manusia ingin mempertahankan sesuatu
yang pada dasarnya tidak abadi.
Keterikatan menimbulkan keinginan untuk memiliki dan mempertahankan
sesuatu, keadaan maupun orang. Keinginan itu tidak selaras dengan alam. Alam
tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan sesuatu. Alam membiarkan
terjadinya perubahan, bahkan malah memfasilitasinya, mendukungnya. Kita terikat dengan harta
benda yang terkumpul selama hidup, maka kematian menjadi sulit. Sementara itu,
alam tidak pernah sedih karena pergantian musim. Alam tidak pernah
menolak perubahan yang terjadi setiap saat
Teratai di kolam gunting Istana Bogor |
Kenapa kita terikat pada sesuatu? Karena kita melihat sesuatu itu di luar diri kita, dan timbul keinginan untuk memilikinya. Pernahkah kita merasa terikat dengan ginjal, hati, dan jeroan kita? Kita tidak terikat, karena kita tahu semua itu ada dalam diri kita. Kita bahkan tidak pernah memikirkan mereka. Tidak pernah peduli tentang jantung dan paru, hingga pada suatu ketika kita jatuh sakit…. dan baru mengaduh-aduh. Karena saat itu kita “merasa kehilangan” kesehatan.
Keterikatan pada harta-kekayaan, pada kedudukan, pada keluarga
semuanya harus dikikis sedikit demi sedikit. Tidak berarti kita menjadi
asosial; tidak berarti kita meningkatkan keluarga. Tidak demikian. Yang penting
adalah meninggalkan rasa kepemilikan. Yang penting ialah meninggalkan
keterikatan. Dan untuk melepaskan keterikatan-keterikatan semacam itu, cara
yang paling gampang adalah meningat kematian. Menyadari bahwasannya hidup ini
bersifat fana, seperti halnya
masa hidup teratai yang teramat singkat.
Keterikatan adalah ketergantungan dan kepercayaan kita pada pujian,
pada imbalan, pada penghargaan dan pengakuan. Selama kita masih mengejar
semuanya itu, kita masih terikat.
Berkaryalah, tapi janganlah terikat pada hasilnya. Layanilah keluarga
dan cintailah mereka, tapi tanpa keterikatan. Keterikatan bukan cinta.
Para leluhur kita mempunyai pitutur luhur, nasehat yang mulia agar
kita melakukan “Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe”. Agar semua energi kita
terfokus pada pekerjaan dan tidak terfokus pada hasil sehingga energi untuk
bekerja kurang maksimal. Pendekatan para leluhur lebih mendekati “Management by
Process”. Dalam hal spiritual, dapat dimaknai agar kita tidak terikat pada
tujuan keduniawian atau tujuan atau pamrih apa pun. Dasarnya adalah bekerja
sebagai persembahan pada kehidupan semata.
Hanya seorang Master yang menguasai kehidupan. Seorang Master ibarat
bunga teratai yang memberikan kebahagiaan kepada sekelilingnya. Kaki dia masih
terikat pada lumpur keduniawian, tetapi dia tidak terikat dengan lumpur
tersebut, dia muncul ke permukaan memberikan kebahagiaan. Melepaskan keterikatan berarti
melepaskan rasa kepemilikan. Tuhan adalah Pemilik tunggal semuanya ini. Anda
ada atau tidak, dunia ini akan tetap ada.
------------------------------------------
Baca Juga