|
Saat senja perlahan jatuh dibalik pepohonan hutan gunung Sanggabuana. |
Senja
itu berlalu dengan sholat magrib berjamaah di bale bale lega warung Kang Aep,
air wudhunya dari sebotol aqua, maklum hujan tak turun berapa hari ini kata
Kang Aep jadi tak ada persediaan air, dilanjutkan dengan santap indomie rebus
pedas, dan secangkir kopi panas yang sebentar saja sudah jadi kopi dingin
karena suhu udara yang mulai bergerak semakin turun.
Secara umum
Gunung
Sanggabuana lebih dikenal sebagai gunung tempat ziarah dengan berbagai
niatan, karena keberadaan makam makam tua di puncaknya. Berbagai kisah mistis,
mitos dan
legenda
memang lekat dengan gunung ini termasuk hubungannya dengan hal hal ghaib.
Bakda sholat isya berjamaah,
seorang pendaki mendadak jadi trending topic, malam itu hingga esok paginya.
Dia yang dari sore tadi tadi tampak seperti orang bingung sendirian ternyata
sedang melarikan diri dari masalah ke puncak gunung ini.
|
Warung Kang Aep lengkap dengan tiga bale bale besar berukuran besar untuk para pendaki menginap gratis. Jangan lupa belanjanya ke warung nya dong ya. |
Kang Aep (pemilik warung)
kemudian memanggilnya untuk mengadu ke Pak Ustadz dari Rengasdengklok yang
kebetulan sudah sembilan hari ngadem disana. Dan kami menyimak sambil sesekali
menimpali obrolan santuy penuh canda tapi serius ituh, pun yang lain nya.
Kisah dimulai dari urusan
hutangnya ke teman sendiri yang tak mampu dibayar karena dia sendiri keburu
dipecat dari tempat kerjanya dan berujung pada ancam mengamcam sampai ke
ancaman pembunuhan.
Tak punya orang tua lagi dan tak
punya saudara yang bisa diminta bantuan, ahirnya dia nekad sendirian naik ke puncak
Gunung
Sanggabuana, katanya untuk ngumpet sampai temannya lupa untuk nagih utang.
Alasan yang gak masuk akal, timpal si
pak Ustadz.
|
Sebelah kanan foto adalah warung Kang Aep, kamu bisa baca tulisan di dindingnya. Sedangkan disebelah kiri adalah jejeran bangunan bangunan makam di puncak gunung Sanggabuana. |
Dia cukup beruntung malam itu;
lagi dalam masalah, gak punya duit,nekad kabur ke puncak gunung, dan bertemu dengan
orang yang siap membantu mengatasi masalahnya. Singkat cerita, Pak Ustadz siap
membantunya membayar hutangnya dengan satu sarat; temen nya yang nagih utang
ajak bertemu dengan beliau.
Tak hanya itu, pak Ustadz itu
juga menawarkan pekerjaan untuknya bahkan juga ditawari jodoh bila memang sudah
siap untuk nikah. Wah wah wah ternyata pelariannya ke gunung malam itu menuai
berkah.
Malam itu terasa berbeda dengan
suasana tujuh tahun lalu, tampak lebih gelap karena kurangnya penerangan.
Listrik di warung kang Aep berasal dari unit genset yang ditempatkan disebelah
mushola, dua warung lainnya sepertinya juga dari sumber yang sama. Penerangan
yang minim memberi peluang untuk menikmati cahaya langit yang gemerlap dengan
bertaburnya cahaya bintang.
|
MUSHOLLA. Bangunan pendopo beratap kerucut di sisi timur puncak Sanggabuana itu adalah bangunan Musholla. |
Berkeliling sejenak digelap malam
di kompleks makam di puncak
Gunung
Sanggabuana, tampaknya banyak perubahan pada bentuk bentuk bangunannya dan
rindangnya pepohonan disana juga tampak berkurang. Di sisi sebelah timur, di
area camping ground ada beberapa kelompok pendaki yang menggelar tenda disana.
Sementara aku dan anakku menutup
malam itu dengan obrolan tauhid tentang hal ghaib termasuk dunia Jin
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist di bangunan mushola berbentuk
pendopo terbuka beratap joglo di ujung timur jejeran bangunan yang ada disana, ditengah gelapnya malam yang perlahan semakin dingin.
Dinihari, Buto Ijo Jatuh Dari Atap?
Rasanya baru terlelap saat aku
mendadak terbangun karena kaget oleh suara teramat keras di keheningan malam
itu dari arah pintu timur bangunan warung Kang Aep tempat kami menginap. Sontak
aku bangun dari tidur dan melihat ke arah pintu yang terpalnya masih tertutup
rapi dan tampak nya tidak ada apa apa.
|
Cuaca cerah di pagi hari di depan pintu timur warung Kang Aep. Ada satu pohon cemara berdiri sejajar dengan pintunya. Warung ini berupa pondokan besar lengkap dengan bale bale yang juga berukuran besar untuk para pendaki menginap. Ada dua pintu akses, di sisi timur dan sisi selatan. Kedua akses pintu itu di malam hari akan di tutup dengan kain terpal yang buat seperti tirai dengan tali pengikat untuk mengurangi terpaan dinginnya angin malam masuk ke dalam pondokan. Kamu bisa liat ada beberapa tong plastik penampung air hujan diletakkan dibawah cucuran atapnya. |
Ruang dalam pondokan memang sudah
makin gelap, satu satunya lampu emergency yang menyala sudah redup kehabisan
listrik. Aku masih duduk diam mengamati, saat sejurus kemudian terpal penutup
pintu itu tersingkap dari luar, seorang pria berperawakan kecil berpakaian
serba hitam masuk tergopoh gopoh lalu tersandung di tali terpal bagian bawah
dan jatuh, namun buru buru bangun lagi dan dengan wajah dan ekspresi ketakutan
dia mendatangi-ku.
“Pak tolong pak ada
Buto ijo pak!” katanya dengan suara lirih dan agak gemetar.
“Saya nggak ngerti
yang begitu kang, itu bangunin pak Ustadz aja” sahut ku.
Hanya saja memang hanya aku yang sudah bangun, duduk di bale
serta memperhatikan situasi, yang lain tampak asik meringkuk di bawah selimut.
“Bapak aja pak, tolong
pak, itu Buto Ijo nya nungguin di depan pintu”. Lanjut nya.
Alih alih langsung bangkit aku malah lanjut bertanya; “tadi bunyi kenceng banget bunyi apa an?”.
Dan jawaban dia benar benar menarik . . . “itu
pak, buto Ijo nya jatoh dari atap”.
|
BUTO IJO ?. Sama sekali tak tampak menakutkan bukan?, itu hanya pohon cemara toh. Entah apa yang merasuki fikiran salah satu pendaki yang sama sama menginap di tempat ini dan dia tidur di bale sebelah kanan foto, sehingga begitu ketakutan dan mengira pohon itu adalah sosok Buto Ijo yang menakutkan. |
Aku langsung bangkit dari duduk, menyelempangkan sarung yang kupakai untuk selimut, turun dari bale, pakai sandal, bergegas ke arah pintu, dia mengikuti di belakang. Kusibak terpal penutup pintu dengan tangan kiri dan melihat keluar, tak ada apa apa diluar sana, dibawah penerangan cahaya langit malam yang tampak hanya pohon cemara setinggi bahu orang dewasa yang ditanam di depan warung Kang Aep sejajar dengan pintu.
“Mana ?” Tanya-ku.
. . . dan masih dengan wajah ketakutan dia melongok keluar . . .
“Itu Pak“ ..
.katanya sambil menunjuk ke arah pohon cemara itu, tangannya tampak gemetar. .
“Itu kan pohon” sahut
ku… sepertinya dia memang benar benar sedang ketakutan, tapi mulai berani.
Meski dengan langkah yang tampak
lucu dia melangkah keluar ke arah pohon yang kumaksud lalu menyentuh dengan
ujung jarinya, mungkin dia sedang memastikan itu beneran pohon. Sejurus
kemudian dia malah lari ngumpet ke balik bangunan di depan warung sambil
berucap “aku mau pipis”. Dan aku
cuman terpelongo melihat kelakuan-nya.
|
Burung piaraan Kang Aep. |
Aku pun ahirnya ikutan keluar,
melihat dan memperhatikan ke atap bangunan tempat kami menginap, tampak jelas
sekali tidak ada apa apa disana, tidak ada juga bekas bekas sesuatu berukuran
besar jatuh dari atap sehingga menimbulkan suara teramat keras. Pun demikian di
area samping dan sekitar bangunan, tidak ada apa apa. Lalu tadi bunyi sebegitu
keras bunyi apa an dong?
Rupanya bukan cuman aku yang
terbangun, saat aku masuk dan naik kembali ke bale bale, anak ku dan temen nya
ternyata juga memperhatikan. “Ada apa an
pah” Tanya anak ku. “nggak ada apa
apa” sahut-ku. “Itu katanya ada Buto
Ijo, Buto artinya besar, Ijo artinya pohon, jadi Buto ijo itu artinya pohon
besar” sahut ku melanjutkan. Tak lama berselang, dia yang tadi ketakutan
sudah masuk kembali ke pondokan dan melanjutkan tidur.
Saat itu jam di hape anakku menunjukkan
pukul 00.27 dinihari. Selang beberapa menit setelah itu hujan pun turun meski
sebentar, lumayan lah ada cukup air di dalam tong tong penampung air di bawah
cucuran atap pondok, lebih dari cukup untuk berwudhu. Ah sudahlah mungkin semua
itu memang sengaja membangunkan ku untuk sholat malam.***
-----------------------------------
------------------------------------
Baca Juga