ilustrasi |
Terlalu rumit untuk bicara tentang takdir,
qodho & qodar, apalagi perencanaan yang rumit tentang sebuah kejayaan
hidup. Suka atau tidak suka inilah salah satu penggalan kisah hidup yang harus
di hadapi, dijalani dan dilewati, sepelik apapun itu.
Sore itu, bakda sholat magrib, aku duduk di
kursi di teras depan kediaman kami yang mungil di hadapan serakan kertas putih
di atas meja bundar. Kediaman kami memang mungil, seluruh bagian terasnya sudah
diatapi dengan asbes, ditembok kiri dan kanan dan dipagar bagian depannya
menyisakan satu pintu akses kecil. Sekitar sepertiga dari nya ada kolam ikan
hias yang sudah kubuat sejak pertama kami menempati rumah tersebut, dan
kupertahankan hingga kini.
Seorang lelaki berpakaian safari &
berkopiah putih berkain sarung datang mengucapkan salam. Lalu kujawab
“wa’alaikum salam”. Beliau menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk
menyampaikan terima kasih padaku. “terima kasih untuk apa pak ?” tanyaku.
Beliau bertutur bahwa, dia sudah menghabiskan waktu begitu lama untuk menjejak
keberadaan keponakan-nya yang entah ada dimana, sampai kemudian dia mendapat
kabar bahwa keponakannya tinggal bersama kami.
Kedatangan beliau sekaligus untuk menitipkan
keponakannya padaku, selain itu beliau juga menyampaikan undangan untuk ku,
bila ada kesempatan untuk mampir dan beramah tamah di pesantren yang
dikelolanya. Tanpa menyebutkan nama diri dan pesantrennya dengan jelas, dan
kemudian pamit. Sebuah dialog yang terlalu membingunkan.
Aku tidak sedang melamun, mengantuk apalagi
tertidur dan sangat sadar bahwa aku tidak sedang bermimpi, berhayal atau
berhalusinasi. Hayalan pengangguran pastinya tentang sumber mata pencaharian
bukan tentang tamu aneh yang berbicara soal hal yang aneh. Terlalu aneh karena
beliau datang dan pergi sekoyong koyong entah darimana dan kemana. Tak ada
tanda pintu pagar telah membuka dan menutup. Dialog tanpa suara dan tanpa
bekas.
Aku sempat menuliskan beberapa nama di selembar
kertas yang terserak di meja di depanku. Tahukah anda tentang sesuatu ?. bahwa
pada saat anda membuka dialog dengan siapapun, itu seperti menyambungkan kabel
data dari sebuah network ke komputer anda. Anda akan mampu membaca data yang
ada di network yang terhubung dengan anda, begitupun sebaliknya.
Tamuku malam itu seakan membiarkan database
memorinya terbuka untuk dibaca, tentang siapa dia [selain namanya], tentang
lokasi pesantrennya, kediamannya, keluarganya, intrik yang terjadi di dalamnya
dan seterusnya, namun beliau mengunci habis tentang siapa “namanya”.
Mbah google sempat membawaku ke satu blog yang
menampilkan sejarah singkat pesantren yang dikelolanya sampai kemudian bagian
itu [seakan dengan sengaja dan terburu buru] dihapus oleh admin nya, meskipun
tak terlalu sulit untuk menemukan wajahnya dari sekian banyak foto aktivitas
pesantren yang sengaja di simpan disana.
Akal waras akan berasumsi gila bagi penulis
yang bercerita panjang lebar tentang sebuah dialog yang tanpa suara, tentang
seseorang yang datang berterima kasih telah menerima seseorang sebagai anggota
keluarga kami padahal tak ada orang lain yang tinggal bersama kami selain aku,
istri dan anak anak kami.
Terlalu kentir untuk dijelaskan kenapa kemudian
aku membuat sketsa seorang remaja putri cantik bergaun putih dengan rambut
sebahu, usianya kira kira sepantaran dengan putri sulung-ku. Lalu tanpa sadar
aku menyahuti panggilan suara anak perempuan yang memanggilku “ayah” . . . . Selasa,
2 Desember 2014……..
[Bersambung].
---------
Baca Juga
No comments:
Post a Comment