Warteg Jaman Doeloe |
WARTEG, 100% INDONESIA
Ketika pertama kali kembali lagi ke Pulau Jawa setelah sekian lama tingga di Batam, Kepulauan Riau, keinginan pertamaku adalah makan dan nongkrong di warteg, maklum warung makan seperti itu tak pernah kutemui selama tinggal disana, seorang teman yang menjemputku di bandara Soekarno Hata [kala itu] bahkan tertawa ngakak saat kubilang aku pengen makan di warteg. Warteg memang asik & 100% Indonesia.
ALKISAH TENTANG WARTEG
Ada dua versi tentang riwayat warteg atau Waroeng
Tegal yang berkembang di masyarakat. Versi pertama menyebutkan bahwa Warteg
telah ada sejak sekitar tahun 1628-1629 pada saat terjadi penyerbuan VOC di
Batavia oleh Raja Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma. Versi ini menyebutkan bahwa Untuk
kepentingan perang,
Sultan Agung memerintahkan pembukaan lahan sawah besar besaran di wilayah Indramayu,
Karawang dan sekitarnya, untuk menjamin ketersediaan logistik pasukan yang akan
bertempur dan mata mata kerajaan
yang sedang menghimpun informasi.
Selain pembukaan sawah juga disebar warung
makan disepanjang jalur penyerbuan. Bupati Tegal kala itu, Tumenggung
Martoloyo ditunjuk sebagai senapati panglima perang, sekaligus menyiapkan ubo
rampe peperangan, termasuk penyediaan logistik. Meski belum ada bukti otentik,
kuat dugaan Martoloyo mengerahkan warga Tegal juga menjadi petani yang
menyiapkan lahan di Indramayu, hingga menjadi juru masak pasukan di Batavia.
Tapi penyerangan yang dipimpin
Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-Agul tersebut tidak berhasil
mengalahkan tentara kompeni. Karena saat hari pertempuran lumbung2 padi yang
ada di daerah Karawang dan lainnya dibakar oleh mata-mata musuh, dan konon
tradisi membuka warung warung warung-warung itu masih bertahan sampai hari ini.
Adalagi versi kedua yang menyebutkan bahwa Warteg
bermula sejak tahun 1950-an hinggan 1960-an. Saat itu pembangunan infrastruktur
di ibukota demikian pesat. Sejumlah proyek dikerjakan, yang menimbulkan efek
berganda (multiplier effect) sejumlah pekerja (tukang dan kuli) yang cukup
banyak. Pekerja bangunan ini umumnya mendirikan bedeng-bedeng sementara di
lokasi proyek. Selain tempat tinggal, pekerja ini membutuhkan konsumsi yang dapat
dijangkau koceknya: murah, dan banyak.
Peluang ini rupanya dibaca secara
kreatif oleh warga Tegal. Kelompok imigran asal Tegal di ibukota mulai
menyediakan layanan kuliner di lokasi proyek. Mereka mampu menjual produk yang
murah dan banyak, yang kemudian menjadi satu stereotip Warteg yang dikenal
publik hingga hari ini. Realitas ini kemudian menjadikan stereotip awal Warteg:
berada di sekitar lokasi proyek, dibuat dari bahan-bahan semi permanen seperti
halnya bedeng pekerja proyek, bersifat musiman mengikuti periodisasi pengerjaan
proyek, dikerjakan oleh 3-5 pekerja borongan yang umumnya laki-laki.
Ada catatan menarik soal
karakteristik Warteg ini. Umumnya satu Warteg diusahakan oleh kelompok keluarga secara bergantian. Satu periode (sekitar 3 bulanan) keluarga
pertama mengelola warteg di kota, keluarga ke 2 akan mengelola lahan
pertanian yang ada di kampung halaman, lalu periode berikutnya giliran keluarga kedua yang mengelola warteg dan keluarga kedua
yang pulang kampung sementara sambil mengelola lahan pertanian yang ada di
kampung halaman mereka,
begitu seterusnya.
------------
Baca Juga
No comments:
Post a Comment