Konsekwensi Bathin
Ada konsekwensi dari setiap keputusan,
begitupun keputusanku mengiyakan permintaan dari seorang paman untuk
keponakannya yang telah lama hilang dan memang tak kan pernah kembali lagi ke
dunia ini. Anak perempuan itu (sebut saja) namanya Andani (*) ayahnya adalah
orang asli tempatan, memiliki dua orang saudara laki laki. Sedangkan ibunya
berasal keluarga kaya Sumatera dan masih kerabat keraton Langkat. Kehidupan-nya
begitu berbahagia dengan limpahan harta hasil bisnis kedua orang tuanya dan
pengaruh ibunya memang cukup besar dalam membangun dan membesarkan bisnis
tersebut.
Petaka datang manakala Andani menginjak usia
remaja, intrik bisnis dan keluarga berujung pada lenyapnya Andani tanpa jejak.
Jasadnya diketemukan beberapa hari kemudian, penyidikan polisi tak membuahkan
hasil menguak siapa pelakunya. Sampai kemudian seorang remaja teman sekolahnya
mengaku sebagai pelaku pembunuhan itu. Si pelaku sendiri saat itu sudah dalam
kondisi yang teramat ketakutan karena senantiasa dihantui oleh rasa bersalah
yang teramat sangat sampai ahirnya menderita sakit jiwa.
Peristiwa memilukan itu menjadi guncangan
teramat berat bagi kedua orang tua Andani. Ibunya jatuh sakit tak mampu
menghadapi kenyataan telah kehilangan anak semata wayangnya, sampai ahirnya
meninggal dunia dalam kesedihan berkepanjangan. Cukup lama setelah itu ayahnya
baru menikah lagi namun tak lama setelah itu ayahnya pun berpulang ke
Rahmatullah, meninggalkan semua harta mereka di tangan istri mudanya. Dan
disana masalah baru bermula.
Sang istri muda yang juga adalah ibu tiri dari
(alm) Andani kemudian menikah lagi dengan pria lain dan berencana menjual rumah
dan semua aset warisan suaminya. Dua saudara dari ayahanda Andani sama sama
tidak setuju, meskipun dengan alasan yang berbeda. Salah satu dari mereka
menolak penjualan itu karena mengingat semua aset itu adalah hasil keringat
kakak kandungnya selama bertahun tahun dan layak dipertahankan. Sementara yang
lainnya menolak penjualan itu karena [seakan] berhasrat untuk menguasai-nya.
Masalah menjadi lebih pelik lagi karena
ternyata sertifikat dan sebagainya yang terkait dengan aset aset dimaksud
lenyap entah kemana. Peti penyimpanan berkas berkas itu seakan ditelan bumi
seiring dengan kematian Andani, Ibunya lalu kemudian Ayahandanya. Andani pun
[mengaku] sangat tidak setuju dengan rencana penjualan aset, terutama rumah
orang tuanya, yang nota bene adalah kediaman dia juga saat masih bersama.
Lenyapnya berkas yang dibutuhkan membuat salah
satu pihak berang. Pencarian berujung perburuan. Seperti perburuan peti harta
karun yang [belum pernah ditemukan] lalu dinyatakan hilang entah dimana, ada
dimana, ada pada siapa. Tak tahu dimana rimbanya. Mengejar bayangan sendiri
jauh lebih nyata dibandingkan perburuan seperti itu. Akibatnya adalah membabi
buta. Bau uang menarik perhatian pihak lain yang turut meramaikan sepi. Andani
turut menjadi sasaran perburuan, dikemudian hari berubah menjadi sasaran utama.
Terserah anda untuk menyebutku konyol dalam
masalah ini, atau mau menyebutku ikut campur dalam urusan orang lain. yang
pasti aku tidak pernah ada niatan untuk mengganggu siapapun. Kau pikir apa yang
harus ku lakukan ketika “seorang” remaja putri datang ke rumahku dengan kondisi
kusut masai, menghiba meminta bantuan untuk sekedar berlindung. Aku tak punya
hati untuk mengusirnya dengan alasan dan cara apapun, begitu dia ku izinkan
masuk ke rumahku maka dia tanggung jawabku, tak perlu kesaktian untuk sekedar
memahami konsekwensi itu.
Bukankah Tuhan tak hanya menyeru pada satu
jenis mahluk, bukankah Tuhan juga yang memberi perintah untuk tolong menolong
dalam kebaikan tanpa kata kata tambahan “Ditujukan Kepada”, “CC”, “BCC”, “NB”
ataupun “catatan kaki”. Terlalu pelik untuk mengurai dan menguak mahluk apakah
gerangan sejatinya si dia itu karena Tuhanpun tak pernah bertanya makala
membagikan pertolongannya. Bukankah Tuhanpun berkata bahwa ghaib ada padanya
dan kita hanya diberi pengatahuan sangat sedikit saja tentang itu.
Ketika sore itu, bakda sholat asyar, aroma
harum semerbak di ruang kamar tempat ku melaksanakan sholat, suara panggilan
‘ayah’ itu terdengar. Bukan suara dari salah satu putri-ku karena mereka
memanggilku papa. Tampak dia sudah berdandan rapi dengan gaun putih, senyumnya
yang tersungging dan setangkai bunga merah jambu diselipkan di telinga kirinya.
Dia tampak sangat senang dan lebih bahagia lagi karena telah mengetahui siapa
“nama dirinya”.
Sebenarnya anak ke-3 ku yang "membawa" Andani ke
rumah dan dia terlihat begitu senang punya kakak baru yang setia menemani-nya
kemanapun dia pergi, termasuk menemani dia belajar dan ulangan di sekolah tanpa
seorangpun di sekolahnya yang tahu tentang hal itu. Pada saat pertama datang ke
rumah, Andani memang dalam kondisi mencemaskan. Dia bertutur tentang perjalanan
hidup-nya, tentang peristiwa memilukan yang merenggut nyawanya, tentang kedua
orang tuanya yang juga telah meninggal dan hingga kini dia belum pernah
berjumpa lagi dengan mereka. Tentang intrik di keluarga ayahandanya, tentang
semua yang tersisa di memori nya kecuali satu hal yang dia sama sekali tak
mampu untuk mengingatnya. “Nama” nya sendiri.
Dia menceritakan itu semua ke anakku seperti
layaknya seorang kakak yang mendongeng ke adiknya menjelang tidur, dongeng
panjang yang hening tanpa suara. Bagiku dongeng yang sudah terjadi bertahun
tahun yang lalu itu tampak seperti sinema 4D, tak ada yang dapat diperbuat
meski seakan berada disana saat peristiwa itu terjadi dan lebih baik diam dan
membisu. . . . . . . .
Bersambung
---------
Baca Juga
No comments:
Post a Comment