Objek Wisata Paniis Singkup |
Dalam bahasa Sunda Paniis berarti pendingin dan
singkup berarti alat atau peralatan. Lalu seperti apa paniis singkup itu.
Paniis Singkup adalah kawasan wisata yang secara administratif berada di dalam
wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, meskipun begitu bila kita dari arah
Jakarta melalui jalur pantura, lokasi wisata ini lebih mudah dicapai dari pusat
kota Cirebon.
Sesuai dengan namanya kawasan wisata ini memang
lumayan sejuk. Wisata andalannya adalah wisata sungai yang bersumber dari
Gunung Ciremai. Sebagaimana sungai yang bersumber dari gunung, air sungai di
Paniis singkup inipun jernih, bening dan tentu saja terasa sejuk dan
menyejukkan.
Dikawasan in juga tersedia kamping ground,
kolam renang yang bersumber dari sungai yang sama dan tentu saja kawasan sungai
terbuka tempat para pengunjung berbasah basah ria di alam terbuka. Perusahaan
daerah air minum setempat juga membangun penampung air baku di tempat ini dan
tentunya tak perlu repot repot untuk melakukan penjernihan.
Kabar angin menyebutkan bahwa air sungai di
Paniis Singkup ini dapat membuat awet muda bagi siapa saja yang mandi disana. Benarkah
begitu ? satu hal yang pasti bahwa mandi adalah salah satu prosesi penyucian
raga, bagian dari proses menjaga kebersihan diri, sesuatu yang sangat ditekankan
syariat agama.
Ramai pengunjung di hari libur, baik oleh
rombongan berseragam sekolah, muda mudi, hingga keluarga yang sengaja datang
berlibur ke tempat ini. Tempat parkir nya cukup memadai, warung makan berjejer
di sekitar lokasi dengan harga yang cukup wajar.
MENYEJUKKAN HATI DI PANIIS SINGKUP
Paniis Singkup dapat dicapai dari Matangaji
(baca posting sebelumnya) dengan waktu tempuh sekitar 20-30 menit. Perjalanan
dimulai dari Matangaji karena (dimasa lalu) kedua tempat ini memang memiliki
keterkaitan satu dengan lainnnya. Menjejakinya dari Matangaji seolah merunut
rangkaian perjalanan sejarah Cirebon dan dakwah di Jawa Barat.
Di Paniis Singkup memang tak ada bangunan
bersejarah dari masa lalu yang dapat di identifikasi sebagai peninggalan
sejarah. Butuh ‘radar’ bersinyal kuat untuk sekedar menemukan serpihan masa
lalu yang terserak di bentara alam di lokasi wisata ini. dan tentu saja butuh
sumber sejarah untuk merangkainya menjadi sesuatu.
Fatahillah atau Fadhilah Khan atau Tubagus
Pasai atau Kyai Bagus Pase atau Falatehan,
Laksanama Kesultanan Demak, di utus oleh sultan Demak untuk membawa
pasukan perang-nya bergabung dengan pasukan Cirebon dalam misi penaklukan
Portugis di Sunda Kelapa.
Di Cirebon beliau ditunjuk oleh Syarif
Hidatullah (Sunan Gunung Jati) untuk memimpin pasukan gabungan tersebut
membebaskan Sunda Kelapa dari Jajahan Portugis, Maulana Hasanudin (Putra Syarif
Hidayullah) dari Banten turut membantu penyerbuan itu, Fatahillah berjaya
menaklukkan Sunda Kelapa dan mengubah nama bandar itu menjadi Jayakarta (Kota
Kejayaan).
Paska kemenangan itu Fatahillah menjadi
Penguasa pertama di Jayakarta, Banten melepaskan diri dari pengaruh Padjajaran
lalu membentuk kesultanan, dan Maulana Hasanudin dinobatkan menjadi Sultan
pertama. Dikemudian hari kota yang ditaklukkan oleh Fatahillah itu berubah
menjadi Jakarta, Ibukota Republik Indonesia dan hari penaklukkan itu diperingati
sebagai hari jadi kota Jakarta.
Fatahillah kemudian memilih kembali ke Cirebon
dan menyerahkan kendali pemerintahan Jayakarta kepada Tubagus Angke. Di Cirebon
beliau malah diserahi tugas sebagai pemangku jabatan Sultan Cirebon oleh Syarif
Hidayullah yang ingin melanjutkan dakwah Islam tanpa terbebani oleh Jabatan
Politik sebagai Sultan Cirebon. Kala itu putra mahkota masih teramat belia
untuk diangkat menjadi Sultan.
Catatan sejarah tak menyebutkan dengan jelas
perjalanan Syarif Hidayatullah dalam misi dakwah tersebut. Meski demikian dari
rangkaian peristiwa awal mula dakwah beliau di Cirebon hingga berdirinya
kesultanan, terbaca dengan jelas bahwa beliau tidak hanya menaklukan hati
rakyat disana tapi juga menaklukkan mahluk lain yang tak sudi Islam berkembang
di Cirebon.
Sejarah masjid Sang Cipta Rasa yang merupakan
masjid kesultanan menyebutkan dengan jelas bahwa masjid tersebut pernah
mengalami kebakaran hebat akibat serangan dari Menjangan Wulung yang bertengger
di mastaka masjid dan menghajar siapapun yang akan masuk kesana.
Sampai kemudian Syarif Hidayatullah
memerintahkan tujuh orang muridnya untuk mengumandangkan azan tujuh kali secara
bersamaan untuk mengalahkan si Menjangan Wulung. Tradisi itu di teruskan di
Masjid Sang Cipta Rasa hingga kini sebagai Azan Pitu. Siapa menjangan wulung
itu?. Pastinya dia bukan dari golongan yang sejalan dengan dakwah yang dibawa
oleh Syarif Hidayatullah.
Syarif Hidayatullah dikaruniai umur yang
panjang oleh Allah S.W.T dalam kondisi kesehatan yang prima (semoga kitapun
demikian, amin) jejak beliau tersebar dimana mana baik yang masih dapat dilihat
dengan jelas maupun yang hanya tersisa cerita tutur. Perjalanannya di Matangaji
sudah disinggung di tulisan terdahulu.
Di Paniis Singkup, sebuah tempat peristirahatan
didirikan. Tujuh orang murid senantiasa menyertai. Mengikuti semua tauziah dari
beliau. Menikmati kucuran ilmu di heningnya alam, khusuk mendengarkan kajian,
bersila di atas batu yang membentang dalam udara yang sejuk diantara gemericik
air.
Ada sebilah keris yang selalu terselip di balik
jubahnya. Sang Hyang Nogo. Bukan untuk bertarung, bukan untuk perlindungan
diri. Keris adalah pengingat bagi pemiliknya untuk senantiasa tawadhu,
senantiasa merendahkan diri dihadapan yang maha kuasa, tidak menyombongkan diri
apalagi membanga banggakan diri, tidak memamer mamerkan kepandaian, kekayaan,
kekuasaan dan kelebihan, sesungguhnya keris mengingatkan pemiliknya untuk
senantiasa berserah diri kepada Allah S.W.T.
Pasedan, tombak panjang yang turut menemani.
Bukan tombak untuk menyerbu, bukan tombak untuk menyerang. Tombak hanyalah
batangan yang lurus. Tegak seperti Alif. Aksara pertama yang diajarkan kepada
kanjeng Rosul, aksara pembuka semua ilmu, aksara pertama untuk menuliskan nama
Tuhan yang serba maha. Tegas berdiri sebagai pembeda dan pemisah antara baik
dan buruk, halal dan haram, hak dan bathil, iman dan ingkar.
Tauhid adalah Keris dan tombak yang
sesungguhnya. Di Matangaji dan di Paniis Singkup yang menyejukkan jiwa, beliau
berpesan satu kalimat “LAA ILA HA ILLALLAH”.
-------------------
No comments:
Post a Comment