Showing posts with label keris. Show all posts
Showing posts with label keris. Show all posts

Tuesday, December 12, 2017

Pesan disebilah Keris

Keris, warisan budaya Nusantara. 

Konon seorang Sultan yang berkuasa wilayah sebelah timur sungai Citarum, mengirimkan sebilah keris untuk putranya yang tinggal di pesisir utara Tatar Pasundan. Sederet pesan panjang terbaca oleh putranya dari sebilah keris itu. Di kemudian hari sejarah mencatat bahwa, dia, penerima keris itu menjadi Sultan pertama di kerajaan yang jejak sejarahnya bahkan ditemukan di dasar sungai Thames yang mengalir di Kota London, ribuan kilometer jauhnya dari tanah jawa.

Apa gerangan pesan yang “tertulis” di keris itu ? entahlah, pastinya sang putra mahkota faham betul pesan yang dikirimkan oleh ayahandanya tercinta, meski tak ada satu aksara-pun terpahat di keris itu. Karena membaca memang tak selalu tentang aksara. Manakala kata terlalu sulit dirangkai menjadi kalimat, pesan pun terkirim dengan aksara tanpa rupa.

Seumpama komputer yang membaca data di dalam flashdisk, sesederhana itu bagi penerima pesan yang dituju. sekali tersambung ke piranti komputer seluruh data dalam flash disk akan terbaca. Tidak semua orang masa dimasa kini familiar dengan dunia digital, demikian halnya tak semua orang di masa lalu memahami transmisi data melalui sebilah keris.

Meskipun demikian patut di ingat bahwa tak semua flash disk berisi data. Dan tak semua data mampu di baca oleh komputer, beberapa diantaranya membutuhkan piranti tambahan baik piranti keras maupun piranti lunak. Lumrahnya sebuah penyimpan data, makin banyak dipakai, makin banyak data “yang menghuni” nya.

Dan tentu saja makin banyak orang yang menggunakan flash disk yang sama, makin banyak pula “rupa” data yang ditempatkan di dalamnya dan makin banyak pula rekam jejak yang tertinggal. Namun perumpamaan tinggallah perumpamaan, keris sama sekali tak sama dengan flash disk, ini hanyalah secuil obrolan tentang “sesuatu” yang tersimpan di dalamnya.

Lebih sederhananya lagi, bersilaturrahim lah dengan seseorang yang memiliki keris warisan dari leluhurnya, anda tak perlu menjadi komputer yang mampu membaca flashdisk untuk mengetahui data yang tersimpan di dalamnya, cukup bertanya kepada pemiliknya tentang keris tersebut, dan insya Allah anda akan mendengar sederet kisah panjang yang tersimpan di dalamnya.

Akan tetapi, teramat sulit untuk mencerna bagaimana orang yang hidup berabad abad yang lalu membuat sebilah keris sebagai tanda cinta untuk salah seorang keturunannya yang (akan) hidup sekian abad kemudian lengkap dengan “identitas jelas” orang yang dituju.

Barangkali “era digital” di jaman old sudah mampu menciptakan program “kirologi” yang luar biasa akurat, sampai sampai mampu menerka identitas keturunannya yang (akan) hidup sekian abad kemudian alias hidup di jamam now. Wallahuwa’lam Bishawab.***

Monday, October 19, 2015

Wismilak dan Bismillah

Wismilak itu salah satu merek dari sekian banyak merek rokok yang diproduksi dan beredar di tanah air. Pemilik perusahaan rokok tersebut pastinya punya cerita sendiri kenapa dulu beliau atau mereka memilih merek Wismilak untuk rokok yang mereka produksi. Perusahaan itu awalnya memproduksi rokok kretek alias rokok yang tidak dilengkapi dengan filter, dan masih di produksi dan beredar di pasar hingga hari ini.

Dari sudut pandang Bahasa Wismilak itu terkesan meng-indonesia-kan kalimat berbahasa Inggris Wish Me Luck dengan menuliskannya sesuai dengan ejaan dan lafal orang Indonesia. Wish Me Luck bermakna harfiah ‘do’a kan aku beruntung’ atau ‘ do’akan supaya aku beruntung’, makna yang baik bukan. Meskipun para penyokong kampanye anti rokok (mungkin) akan berkomentar lain.

Menurut kabar yang beredar di belantara dunia maya, dulunya sekali, pendiri pabrik rokok tersebut mendapatkan petunjuk dari sesepuh pesantren di Jawa yang juga Kakek dari (alm) Gus Dur untuk mendawamkan kalimat ‘Bismillah’, lalu mendapatkan petunjuk untuk berbisnis rokok, dan ujungnya jadilah rokok kretek Wismilak itu.

Ada juga yang mengatakan bahwa Wismilak itu memang dari kata Bismillah yang di lafalkan oleh lidah orang Tionghoa karena dialek mereka, toh pendiri pabrik wismilak memang dari etnis Tionghoa. Kejadiannya kira kira sama dengan kata Bismillah yang berubah menjadi Semilah di lidah orang orang tua etnis Jawa.

Namanya juga kabar angin, saya pun tidak tahu persis kebenarannya. Karena toh saya bukan sang pendiri pabrik rokok itu dan bukan juga salah satu pemiliknya, kecuali bila mereka dan Allah S.w.t menghendaki. Mungkin saya bisa beberkan kebenarannya pada anda.

Saya jadi ingat pada kalimat “Ada pesan dari setiap peristiwa, tergantung pada kemampuan untuk membaca atau mencerna-nya, Tak semua pesan tertulis dengan aksara atau terdengar telinga”. Seperti Bahasa siloka, sandi, perumpamaan, iluminati atau apalah istilahnya. Pesan yang disampaikan hanya dapat difahami oleh mereka yang sudah dibekali dengan pengetahuan tentang itu untuk mengurai dan menterjemahkan dan memahami-nya.

Bila anda perokok, tiba tiba di suguhi rokok Wismilak yang belum pernah anda hisap, barangkali anda sedang diberi nasihat untuk mengingat Allah, mengingat Tuhan yang maha Agung, barangkali saja di mata dan telinga “Nya” anda masuk dalam golongan yang jarang (untuk sekedar) menyebut nama Tuhan. Atau bisa jadi anda sedang di-ingatkan tentang sebuah do’a, untuk sering men-do’a-kan dan meminta di do’a-kan supaya senantiasa beruntung.

Boleh jadi anda tidak suka dengan rokok-nya, seperti para diplomat Eropa di Konfrensi Meja Bundar yang mengejek Kyai Haji Agus Salim yang sedang menghisap cerutunya dengan teriakan “mbeeek” dan kata kata tak sedap karena asap dari rokok yang dihisap KH Agus Salim. Tapi toh dengan tenangnya kemudian KH Agus Salim mengatakan. “tidak ingatkah tuan tuan, aroma tembakau ini lah yang membuat bangsa tuan menjajah bangsa kami dan enggan untuk pergi….”.

Atau mungkin anda pernah mendengar tentang pesan dari khalifah Umar Bin Khatab kepada Amru Bin Ash yang menjabat sebagai Gubernur Mesir. Pesan-nya hanya berupa goresan lurus dengan ujung pedang di sepotong tulang, tapi mampu membuat Sang Gubernur gemetar ketakutan menyadari kesalahan yang dilakukannya manakala menerima sepotong tulang tersebut. Nama Amru Bin Ash kemudian dijadikan nama masjid yang dibangunnya dan masih berdiri hingga hari ini. Dan kisah itu pun menjadi inspirasi begitu banyak orang yang mengetahuinya.

Atau mungkin anda pernah mendengar tentang bagaimana Sultan Syarif Hidayatullah berkirim surat dari Cirebon kepada putranya Maulana Hasanudin di Banten, bukan lembaran surat yang dikirimkan oleh beliau, tapi sebilah keris, dan Maulana Hasanudin pun mafhum akan titah ayahandanya.

Pesan memang tak selalu datang dengan cara yang kita sukai. Bukankah Tuhan pun kadangkala mengirimkan pesan kepada hamba hambanya dengan cara yang tidak selalu disukai. Kadangkala di kirimkan pesan melalui penyakit agar mampu menghargai sehat, dikirim melalui kesempitan untuk mengingatkan agar menghargai kelapangan dan lain lain.

Pengirim pesan kadangkala merancang sedemikian rupa agar pesannya tersamar, menjadi rahasia, kadangkala rahasianya disembunyikan dibalik rahasia, Dan hanya mampu difahami oleh mereka yang mau berfikir. Mungkin untuk diberikan bonus berganda. wallohua'lam.

------------------------------------------

Baca Juga



Thursday, October 30, 2014

PESAN ‘SEJUK’ DARI PANIIS SINGKUP

Objek Wisata Paniis Singkup

Dalam bahasa Sunda Paniis berarti pendingin dan singkup berarti alat atau peralatan. Lalu seperti apa paniis singkup itu. Paniis Singkup adalah kawasan wisata yang secara administratif berada di dalam wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, meskipun begitu bila kita dari arah Jakarta melalui jalur pantura, lokasi wisata ini lebih mudah dicapai dari pusat kota Cirebon.

Sesuai dengan namanya kawasan wisata ini memang lumayan sejuk. Wisata andalannya adalah wisata sungai yang bersumber dari Gunung Ciremai. Sebagaimana sungai yang bersumber dari gunung, air sungai di Paniis singkup inipun jernih, bening dan tentu saja terasa sejuk dan menyejukkan.

Dikawasan in juga tersedia kamping ground, kolam renang yang bersumber dari sungai yang sama dan tentu saja kawasan sungai terbuka tempat para pengunjung berbasah basah ria di alam terbuka. Perusahaan daerah air minum setempat juga membangun penampung air baku di tempat ini dan tentunya tak perlu repot repot untuk melakukan penjernihan.

Kabar angin menyebutkan bahwa air sungai di Paniis Singkup ini dapat membuat awet muda bagi siapa saja yang mandi disana. Benarkah begitu ? satu hal yang pasti bahwa mandi adalah salah satu prosesi penyucian raga, bagian dari proses menjaga kebersihan diri, sesuatu yang sangat ditekankan syariat agama.

Ramai pengunjung di hari libur, baik oleh rombongan berseragam sekolah, muda mudi, hingga keluarga yang sengaja datang berlibur ke tempat ini. Tempat parkir nya cukup memadai, warung makan berjejer di sekitar lokasi dengan harga yang cukup wajar.

MENYEJUKKAN HATI DI PANIIS SINGKUP

Paniis Singkup dapat dicapai dari Matangaji (baca posting sebelumnya) dengan waktu tempuh sekitar 20-30 menit. Perjalanan dimulai dari Matangaji karena (dimasa lalu) kedua tempat ini memang memiliki keterkaitan satu dengan lainnnya. Menjejakinya dari Matangaji seolah merunut rangkaian perjalanan sejarah Cirebon dan dakwah di Jawa Barat.

Di Paniis Singkup memang tak ada bangunan bersejarah dari masa lalu yang dapat di identifikasi sebagai peninggalan sejarah. Butuh ‘radar’ bersinyal kuat untuk sekedar menemukan serpihan masa lalu yang terserak di bentara alam di lokasi wisata ini. dan tentu saja butuh sumber sejarah untuk merangkainya menjadi sesuatu.

Fatahillah atau Fadhilah Khan atau Tubagus Pasai atau Kyai Bagus Pase atau Falatehan,  Laksanama Kesultanan Demak, di utus oleh sultan Demak untuk membawa pasukan perang-nya bergabung dengan pasukan Cirebon dalam misi penaklukan Portugis di Sunda Kelapa.

Di Cirebon beliau ditunjuk oleh Syarif Hidatullah (Sunan Gunung Jati) untuk memimpin pasukan gabungan tersebut membebaskan Sunda Kelapa dari Jajahan Portugis, Maulana Hasanudin (Putra Syarif Hidayullah) dari Banten turut membantu penyerbuan itu, Fatahillah berjaya menaklukkan Sunda Kelapa dan mengubah nama bandar itu menjadi Jayakarta (Kota Kejayaan).

Paska kemenangan itu Fatahillah menjadi Penguasa pertama di Jayakarta, Banten melepaskan diri dari pengaruh Padjajaran lalu membentuk kesultanan, dan Maulana Hasanudin dinobatkan menjadi Sultan pertama. Dikemudian hari kota yang ditaklukkan oleh Fatahillah itu berubah menjadi Jakarta, Ibukota Republik Indonesia dan hari penaklukkan itu diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta.

Fatahillah kemudian memilih kembali ke Cirebon dan menyerahkan kendali pemerintahan Jayakarta kepada Tubagus Angke. Di Cirebon beliau malah diserahi tugas sebagai pemangku jabatan Sultan Cirebon oleh Syarif Hidayullah yang ingin melanjutkan dakwah Islam tanpa terbebani oleh Jabatan Politik sebagai Sultan Cirebon. Kala itu putra mahkota masih teramat belia untuk diangkat menjadi Sultan.

Catatan sejarah tak menyebutkan dengan jelas perjalanan Syarif Hidayatullah dalam misi dakwah tersebut. Meski demikian dari rangkaian peristiwa awal mula dakwah beliau di Cirebon hingga berdirinya kesultanan, terbaca dengan jelas bahwa beliau tidak hanya menaklukan hati rakyat disana tapi juga menaklukkan mahluk lain yang tak sudi Islam berkembang di Cirebon.

Sejarah masjid Sang Cipta Rasa yang merupakan masjid kesultanan menyebutkan dengan jelas bahwa masjid tersebut pernah mengalami kebakaran hebat akibat serangan dari Menjangan Wulung yang bertengger di mastaka masjid dan menghajar siapapun yang akan masuk kesana.

Sampai kemudian Syarif Hidayatullah memerintahkan tujuh orang muridnya untuk mengumandangkan azan tujuh kali secara bersamaan untuk mengalahkan si Menjangan Wulung. Tradisi itu di teruskan di Masjid Sang Cipta Rasa hingga kini sebagai Azan Pitu. Siapa menjangan wulung itu?. Pastinya dia bukan dari golongan yang sejalan dengan dakwah yang dibawa oleh Syarif Hidayatullah.

Syarif Hidayatullah dikaruniai umur yang panjang oleh Allah S.W.T dalam kondisi kesehatan yang prima (semoga kitapun demikian, amin) jejak beliau tersebar dimana mana baik yang masih dapat dilihat dengan jelas maupun yang hanya tersisa cerita tutur. Perjalanannya di Matangaji sudah disinggung di tulisan terdahulu.

Di Paniis Singkup, sebuah tempat peristirahatan didirikan. Tujuh orang murid senantiasa menyertai. Mengikuti semua tauziah dari beliau. Menikmati kucuran ilmu di heningnya alam, khusuk mendengarkan kajian, bersila di atas batu yang membentang dalam udara yang sejuk diantara gemericik air.

Ada sebilah keris yang selalu terselip di balik jubahnya. Sang Hyang Nogo. Bukan untuk bertarung, bukan untuk perlindungan diri. Keris adalah pengingat bagi pemiliknya untuk senantiasa tawadhu, senantiasa merendahkan diri dihadapan yang maha kuasa, tidak menyombongkan diri apalagi membanga banggakan diri, tidak memamer mamerkan kepandaian, kekayaan, kekuasaan dan kelebihan, sesungguhnya keris mengingatkan pemiliknya untuk senantiasa berserah diri kepada Allah S.W.T.

Pasedan, tombak panjang yang turut menemani. Bukan tombak untuk menyerbu, bukan tombak untuk menyerang. Tombak hanyalah batangan yang lurus. Tegak seperti Alif. Aksara pertama yang diajarkan kepada kanjeng Rosul, aksara pembuka semua ilmu, aksara pertama untuk menuliskan nama Tuhan yang serba maha. Tegas berdiri sebagai pembeda dan pemisah antara baik dan buruk, halal dan haram, hak dan bathil, iman dan ingkar. 

Tauhid adalah Keris dan tombak yang sesungguhnya. Di Matangaji dan di Paniis Singkup yang menyejukkan jiwa, beliau berpesan satu kalimat “LAA ILA HA ILLALLAH”.

-------------------


Wednesday, August 20, 2014

Hikayat Keris Taming Sari

Keris Taming Sari
Inilah hikayat tanah melayu. Di negeri Malaka hiduplah seorang Laksamana, bernama Laksamana Hang Tuah. Seorang pelaut ulung, pendekar pilih tanding, petarung tak berbanding,  Laksamana raja di laut, Hulubalang Kesultanan Malaka.

Suatu ketika sultan Malaka bersama handai taulan dan karib kerabat istana datang ke Majapahit hendak meminang putri sang Prabu. Diantara khalayak ramai hadirlah seorang petualang Majapahit dan petarung ulung sakti bernama Taming Sari memohon izin sang Prabu, untuk bertarung melawan hulubalang Malaka.

Hang Tuah turun ke gelanggang bertarung melawan Taming Sari, dua petarung ulung unjuk kesaktian, tak terkira sengitnya pertarungan, tak terkirakan siapa yang kan Berjaya, keduanya sama sama ada kesaktian dan ketangguhan. Namun pertarungan haruslah usai, Taming Sari gugur di tangan Hang Tuah. Sang Prabu menghadiahkan Keris milik Taming Sari Kepada Hang Tuah, hulu balang Kesultanan Malaka.

Keris Taming sari pun berpindah tangan, namanya bersanding dengan nama Hang Tuah. Keris sakti ditangan Laksamana sakti, sepadu sepadan, mengawal Malaka kepada kejayaan dan kemasyuran.

Manakala ada Intrik politik di istana, Keris Taming Sari jatuh ke tangan Hang Jebat, Hang Tuah tersingkir dari Istana, dijatuhi hukuman mati namun tak pernah di eksekusi. Lain hari, Dia kembali ke istana sebagai pahlawan, bertarung melawan Hang Jebat, sahabat karib nya sendiri, sebahagian orang berkata bahwa Hang Jebat adalah saudara kepada Hang Tuah. Dalam pertarungan itu Hang Tuah berhasil merampas kembali Keris Taming Sari dari Hang Jebat dan telah menikam dan membunuh-nya.

Keris Taming Sari saat dipamerkan di musium Kesultanan Perak

Seperti kata pepatah, setiap masa ada orang nya dan setiap orang ada masanya. Selepas itu, Hang Tuah dan Keris Taming Sari menjadi legenda. Tak seorangpun tahu pasti dimanakah sebenarnya Hang Tuah menghabiskan umurnya setelah undur diri dari Istana, kerana pusara beliau pun ada di tiga negeri. Tak tahu pasti yang mana satu yang sebenarnya asli, di negeri Malaka kah ? atau di Riau atapun di Palembang?

Begitu pula dengan keberadaan Keris Taming Sari sejati. Sebahagian orang percaya bahwasanya setelah gagal mempersunting putri Gunung Ledang untuk baginda Sultan, Hang Tuah pun undur diri dari Istana kerana merasa malu. Ia nya disebut-sebut mengirim dan mempersembahkan Keris Taming Sari kepada baginda sultan. Tak lama berselang Kesultanan Malaka runtuh oleh serbuah Portugis.

Sultan dan sebahagian besar kerabat istana hijrah ke Kampar (Riau) di Sumatera, Keris Taming Sari dibawa serta. Di Sumatera, baginda Sultan menganugerahkan Keris Taming Sari kepada putra-nya, Raja Mudzaffar, yang kemudian berangkat ke Perak, menjadi Sultan pertama di Kesultanan Perak. Keris Taming Sari menjadi pusaka kebesaran Istana Kesultanan Perak sejak tahun 1528.

Keindahan gagang keris Taming Sari

Namun demikian, sebahagian orang lagi berkata bahwa, kerana merasa malu telah gagal meminang putri Gunung Ledang, Hang Tuah tak pernah kembali lagi ke Istana dan membuang Keris Taming Sari hingga menancap di dasar Sungai Duyung di Malaka. Adapaun Keris yang kini ada di istana Iskandariah, Kuala Kangsar, Kesultanan Perak, hanyalah replika belaka. Dan tentu saja pihak istana pun membantahnya.

Keris Taming Sari merupakan keris pusaka Istana, keris kerajaan dan digunakan pada adat kebesaran diraja Perak. Wujudnya kini berubah menjadi begitu mewah dengan lapisan emas pada seluruh sarung dan bilahnya, serta taburan permata pada gagangnya. Tak sembarang orang dan sembarang waktu untuk dapat melihatnya. Dan legenda tetaplah menjadi legenda begitu pun hikayat kan tetap menjadi hikayat. *** 

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga