Showing posts with label masjid agung sang cipta rasa. Show all posts
Showing posts with label masjid agung sang cipta rasa. Show all posts

Thursday, October 30, 2014

PESAN ‘SEJUK’ DARI PANIIS SINGKUP

Objek Wisata Paniis Singkup

Dalam bahasa Sunda Paniis berarti pendingin dan singkup berarti alat atau peralatan. Lalu seperti apa paniis singkup itu. Paniis Singkup adalah kawasan wisata yang secara administratif berada di dalam wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, meskipun begitu bila kita dari arah Jakarta melalui jalur pantura, lokasi wisata ini lebih mudah dicapai dari pusat kota Cirebon.

Sesuai dengan namanya kawasan wisata ini memang lumayan sejuk. Wisata andalannya adalah wisata sungai yang bersumber dari Gunung Ciremai. Sebagaimana sungai yang bersumber dari gunung, air sungai di Paniis singkup inipun jernih, bening dan tentu saja terasa sejuk dan menyejukkan.

Dikawasan in juga tersedia kamping ground, kolam renang yang bersumber dari sungai yang sama dan tentu saja kawasan sungai terbuka tempat para pengunjung berbasah basah ria di alam terbuka. Perusahaan daerah air minum setempat juga membangun penampung air baku di tempat ini dan tentunya tak perlu repot repot untuk melakukan penjernihan.

Kabar angin menyebutkan bahwa air sungai di Paniis Singkup ini dapat membuat awet muda bagi siapa saja yang mandi disana. Benarkah begitu ? satu hal yang pasti bahwa mandi adalah salah satu prosesi penyucian raga, bagian dari proses menjaga kebersihan diri, sesuatu yang sangat ditekankan syariat agama.

Ramai pengunjung di hari libur, baik oleh rombongan berseragam sekolah, muda mudi, hingga keluarga yang sengaja datang berlibur ke tempat ini. Tempat parkir nya cukup memadai, warung makan berjejer di sekitar lokasi dengan harga yang cukup wajar.

MENYEJUKKAN HATI DI PANIIS SINGKUP

Paniis Singkup dapat dicapai dari Matangaji (baca posting sebelumnya) dengan waktu tempuh sekitar 20-30 menit. Perjalanan dimulai dari Matangaji karena (dimasa lalu) kedua tempat ini memang memiliki keterkaitan satu dengan lainnnya. Menjejakinya dari Matangaji seolah merunut rangkaian perjalanan sejarah Cirebon dan dakwah di Jawa Barat.

Di Paniis Singkup memang tak ada bangunan bersejarah dari masa lalu yang dapat di identifikasi sebagai peninggalan sejarah. Butuh ‘radar’ bersinyal kuat untuk sekedar menemukan serpihan masa lalu yang terserak di bentara alam di lokasi wisata ini. dan tentu saja butuh sumber sejarah untuk merangkainya menjadi sesuatu.

Fatahillah atau Fadhilah Khan atau Tubagus Pasai atau Kyai Bagus Pase atau Falatehan,  Laksanama Kesultanan Demak, di utus oleh sultan Demak untuk membawa pasukan perang-nya bergabung dengan pasukan Cirebon dalam misi penaklukan Portugis di Sunda Kelapa.

Di Cirebon beliau ditunjuk oleh Syarif Hidatullah (Sunan Gunung Jati) untuk memimpin pasukan gabungan tersebut membebaskan Sunda Kelapa dari Jajahan Portugis, Maulana Hasanudin (Putra Syarif Hidayullah) dari Banten turut membantu penyerbuan itu, Fatahillah berjaya menaklukkan Sunda Kelapa dan mengubah nama bandar itu menjadi Jayakarta (Kota Kejayaan).

Paska kemenangan itu Fatahillah menjadi Penguasa pertama di Jayakarta, Banten melepaskan diri dari pengaruh Padjajaran lalu membentuk kesultanan, dan Maulana Hasanudin dinobatkan menjadi Sultan pertama. Dikemudian hari kota yang ditaklukkan oleh Fatahillah itu berubah menjadi Jakarta, Ibukota Republik Indonesia dan hari penaklukkan itu diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta.

Fatahillah kemudian memilih kembali ke Cirebon dan menyerahkan kendali pemerintahan Jayakarta kepada Tubagus Angke. Di Cirebon beliau malah diserahi tugas sebagai pemangku jabatan Sultan Cirebon oleh Syarif Hidayullah yang ingin melanjutkan dakwah Islam tanpa terbebani oleh Jabatan Politik sebagai Sultan Cirebon. Kala itu putra mahkota masih teramat belia untuk diangkat menjadi Sultan.

Catatan sejarah tak menyebutkan dengan jelas perjalanan Syarif Hidayatullah dalam misi dakwah tersebut. Meski demikian dari rangkaian peristiwa awal mula dakwah beliau di Cirebon hingga berdirinya kesultanan, terbaca dengan jelas bahwa beliau tidak hanya menaklukan hati rakyat disana tapi juga menaklukkan mahluk lain yang tak sudi Islam berkembang di Cirebon.

Sejarah masjid Sang Cipta Rasa yang merupakan masjid kesultanan menyebutkan dengan jelas bahwa masjid tersebut pernah mengalami kebakaran hebat akibat serangan dari Menjangan Wulung yang bertengger di mastaka masjid dan menghajar siapapun yang akan masuk kesana.

Sampai kemudian Syarif Hidayatullah memerintahkan tujuh orang muridnya untuk mengumandangkan azan tujuh kali secara bersamaan untuk mengalahkan si Menjangan Wulung. Tradisi itu di teruskan di Masjid Sang Cipta Rasa hingga kini sebagai Azan Pitu. Siapa menjangan wulung itu?. Pastinya dia bukan dari golongan yang sejalan dengan dakwah yang dibawa oleh Syarif Hidayatullah.

Syarif Hidayatullah dikaruniai umur yang panjang oleh Allah S.W.T dalam kondisi kesehatan yang prima (semoga kitapun demikian, amin) jejak beliau tersebar dimana mana baik yang masih dapat dilihat dengan jelas maupun yang hanya tersisa cerita tutur. Perjalanannya di Matangaji sudah disinggung di tulisan terdahulu.

Di Paniis Singkup, sebuah tempat peristirahatan didirikan. Tujuh orang murid senantiasa menyertai. Mengikuti semua tauziah dari beliau. Menikmati kucuran ilmu di heningnya alam, khusuk mendengarkan kajian, bersila di atas batu yang membentang dalam udara yang sejuk diantara gemericik air.

Ada sebilah keris yang selalu terselip di balik jubahnya. Sang Hyang Nogo. Bukan untuk bertarung, bukan untuk perlindungan diri. Keris adalah pengingat bagi pemiliknya untuk senantiasa tawadhu, senantiasa merendahkan diri dihadapan yang maha kuasa, tidak menyombongkan diri apalagi membanga banggakan diri, tidak memamer mamerkan kepandaian, kekayaan, kekuasaan dan kelebihan, sesungguhnya keris mengingatkan pemiliknya untuk senantiasa berserah diri kepada Allah S.W.T.

Pasedan, tombak panjang yang turut menemani. Bukan tombak untuk menyerbu, bukan tombak untuk menyerang. Tombak hanyalah batangan yang lurus. Tegak seperti Alif. Aksara pertama yang diajarkan kepada kanjeng Rosul, aksara pembuka semua ilmu, aksara pertama untuk menuliskan nama Tuhan yang serba maha. Tegas berdiri sebagai pembeda dan pemisah antara baik dan buruk, halal dan haram, hak dan bathil, iman dan ingkar. 

Tauhid adalah Keris dan tombak yang sesungguhnya. Di Matangaji dan di Paniis Singkup yang menyejukkan jiwa, beliau berpesan satu kalimat “LAA ILA HA ILLALLAH”.

-------------------


Thursday, May 2, 2013

Matahari di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon

Kanan : ukiran bunga matahari di mihrab Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Kiri : Surya Majapahit.

Islam melarang penggunaan ukiran dan gambar manusia dan binatang dan bentuk mahluk hidup lainnya kecuali tumbuhan. Terutama di dalam masjid dan mushola. Karenanya, meski mimbar masjid Agung Sang Ciptarasa di Cirebon ini dipenuhi dengan ukiran ukiran nan indah yang dipatrikan ke batu pualam putih, tak satupun bentuk mahluk hidup disana.

Ukiran ukiran indah itu bermuara ke sebuah ukiran seperti bunga matahari di bagian puncak mihrab. Entah hanya sebuah kebetulan atau memang disengaja, bentuk bunga matahari itu sebelumnya pernah digunakan oleh kerajaan Majapahit sebagai lambang negara dengan nama Surya Majapahit.

Sedikit nukilan sejarah menyebutkan bahwa pembangunan masjid Agung Cirebon ini diprakarsai oleh Putri Pakungwati yang tak lain adalah Permaisuri dari Sunan Gunung Jati, melibatkan beberapa tokoh Wali Songo. Menariknya lagi proses pembangunan tersebut (konon) juga melibatkan Raden Sepat dan sisa sisa pasukannya.

Raden Sepat adalah panglima pasukan majapahit terahir yang menyerbu ke Demak pada saat kesultanan Demak baru berdiri. Penyerbuan yang justru berujung kepada ber-Islam-nya Raden Sepat beserta sisa pasukannya. Selain kemampuan perang, Raden Sepat memiliki kemampuan seni bangunan yang mumpuni, beliau yang kemudian merancang Masjid Agung Demak.

Dikemudian hari ketika Cirebon akan membangun sebuah Masjid Agung, Sultan Demak mengutus beliau ke Cirebon untuk membantu pembangunan masjid dimaksud. Bisa jadi, sisa anggota pasukan beliau yang kemudian mengukir mimbar ini, mengabadikan lambang Majapahit tersebut dalam bentuk bunga matahari. Wallohua’lam.***

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga


Pesan Dari Masa Lalu Di Masjid Agung Cirebon

Arsitektur Pra-Islam sangat kental di bangunan Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon, Jawa Barat. Mulai dari Gerbang, bangunan utama masjid hingga ke ukiran pada mihrab dan mimbarnya.

Bung Karno, tokoh sentral kemerdekaan negara ini meninggalkan begitu banyak pesan bagi para penerusnya termasuk kepada saya dan anda semua yang mengaku sebagai orang Indonesia. Beberapa pesannya bahkan masih segar di ingatan meski diantara kita bahkan tak sempat melihat beliau saat masih hidup. “Jangan sekali sekali melupakan sejarah”, merupakan pesan yang senantiasa dikutip oleh para pemimpin negara ini tapi selalu saja dilupakan sejurus kemudian.

Sesungguhnya pesan tersebut tak semata mata pesan dari Bung Karno, tapi merupakan pesan dari masa lalu, pesan dari para leluhur untuk anak cucu dan keturunannya. Itu juga pesan dari para wali meskipun tak pernah disampaikan secara eksplisit. Bilamana kita berkunjung ke masjid masjid warisan atau masjid yang dinisbatkan bagi para wali, pesan tersebut akan sangat terasa. Begitupun dengan makam makam mereka.

Islam datang ke tanah air ini tidak secara serta merta. Tidak juga ditawarkan layaknya barang dagangan apalagi dengan hunusan pedang atau letupan mesiu. Pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang pernah dilakukan oleh para wali dalam memperkenalkan Islam melalui proses akulturasi yang tidak sebentar.

Islam Bukan Arab

candi bentar di lambang -
kabupaten Cirebon
Berkunjung ke (Kota dan Kabupaten) Cirebon sangat terasa kental nuansa Islam yang Indonesia. Di kota ini Islam hadir dalam pekerti setempat, pekerti local, pekerti tanah air.Bangunan bangunan masjid tua, makam makam tua hingga bangunan bangunan tua masa masa kejayaan Cirebon sebagai sebuah kesultanan sama sekali tak menggusur dan membumihangus budaya setempat yang sudah mendarah daging.

Tak aneh bila hingga kini kita masih menemui bentuk bentuk gerbang candi bentar yang dulunya merupakan gerbang dari sebuah bangunan candi. Bentuk bentuk punden berundak undak bahkan digunakan dalam arsitektur masjid masjid tua di kota udang ini. dalam arsitektural Masjid, punden berundak tidak saja digunakan pada bentuk bentuk ornament pada bangunan pagar masjid tapi juga pada atap bangunan utama masjidnya sendiri.

Bangunan utama masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon dibangun dalam bentuk atap bersusun tiga. Makna mendalam terselip dalam susunan atap yang bersusun tiga ini. kepercayaan lama ditanah air memaknainya sebagai tiga tahapan kehidupan manusia mulai dari kehidupan di dalam Kandungan, di alam dunia dan di alam setelah kematian. Sedangkan dalam makna Islami diterjemahkan sebagai Iman, Islam dan Ikhsan.

Menilik jauh ke belakang, kamus besar bahasa Indonesia memaknai punden berundak ini sebagai “bangunan pemujaan tradisi megalitikum yg bentuknya persegi empat dan tersusun bertingkat-tingkat”. Dan nyatanya makna tersebut tak bergeser hingga kini meski dalam kontek yang berbeda.

Bentuk tradisional asli tanah air tersebut tidak saja membentuk bangunan masjid Agung Sang Ciptarasa, tapi juga menjadi nafas dari berbagai bangunan di komplek keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman hingga keraton Kacirbonan meski bangunan terahir ini lebih banyak sentuhan Eropa-nya.

Selain gerbang candi bentar, masjid agung Cirebon juga menyerap bentuk gerbang Paduraksa pada gerbang utamanya. Gerbang peninggalan era sebelum Islam ini dugunakan sebagai gerbang utama bangunan masjid Sang Ciptarasa dengan berbagai modifikasi dan sentuhan Islami. Namun oranmen punden berundak tak hilang dari gerbang ini.

Menjadi lebih menarik manakala kita masuk ke dalam bangunan masjid ini. nyaris tak ada ornamen Islami seperti yang biasa kita temukan di dalam sebuah bangunan masjid bergaya Arabia. Mihrab dan mimbar di masjid ini sepi dari ukiran ayat ayat suci Al-Qur’an. Mihrab nya sendiri dibangun dari batu batu pualam berukuran floral, yang berpusat pada bentuk yang menyerupai bunga matahari pada bagian puncak mihrab.

Bentuk bunga matahari juga merupakan bentuk dari Surya Majapahit yang merupakan lambang kebesaran Kerajaan Majapahit. Tak mengerankan, karena konon memang proses pembangunan masjid ini turut melibatkan Raden Sepat yang tak lain adalah panglima pasukan Majapahit yang kalah perang dalam serangannya ke Demak dan kemudian memeluk Islam di masa kekuasaan Raden Fatah.

Orang yang sama juga terlibat dalam proses pembangunan Masjid Agung Demak yang disebut sebut sebagai bangunan masjid tertua peninggalan kerajaan Islam di tanah Jawa. Beliau juga disebut sebut turut terlibat dalam pembangunan masjid Agung Banten.

Memang tak salah bila anda berkomentar bahwa masjid Agung Sang Ciptarasa ini memiliki kemiripan dengan Masjid Agung Demak ataupun Masjid Agung Banten, karena memang dibangun oleh orang orang yang sama dengan nafas yang sama. Nafas pembauran demi kemajuan tanpa harus memberangus.

Dan pada ahirnya, kita pun faham apa yang di wasiatkan oleh sang proklamator negara ini tidak sekedar siloka yang terpatri di nurani kala mengingatnya. Tapi lebih dari itu semua dalah pesan untuk senantiasa melanjutkan hal hal yang telah baik untuk menjadi lebih baik. Era baru, peradaban baru, pemerintahan baru, penguasa baru tak harus membumihangus hal hal baik yang telah diwariskan oleh para pendahulu tapi justru melanjutkannya.***

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga


Bisikan dari pintu Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon

Salah satu pintu masuk ke ruang utama masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon Lebih rendah dari tinggi orang dewasa, memaksa siapapun untuk menunduk agar bisa masuk ke dalam masjid ini

Dan tak semua pintu kehidupan itu tinggi dan Lapang, maka belajarlah merendahkan hati dan menghormati. Meski urusan hormat menghormati memang kadang kadang tak semudah membalik sebelah tangan. Terkadang kita terjebak pada penampilan fisik untuk sekedar memberikan penghormatan sepantasnya. Padahal tak semua yang berharga itu berpenampilan menarik. Tak semua yang bernilai itu keluar dari mulut atau tempat yang terhormat.

Seperti halnya nasihat yang baik tak selalu keluar dari mulut mahluk terhormat. Terlontar dari manusia yang dianggap bermartabat karena berbagai predikat fisik yang disandangnya. Kita akan menjadi manusia angkuh yang memilah milah nilai dan harga sesuatu hanya disandarkan pada casing.

Bila hanya hendak mendengar nasihat dari mereka yang berpenampilan menarik, penuh wibawa berjabatan tinggi dari lingkungan terhormat, maka kita tak kan pernah mampu mendapatkan manfaat nasihat dari gelandangan kotor kummel of dekil yang terkadang nasihatnya jauh lebih berharga dari diri kita sendiri.

Bila kita hanya mau menganggap berharga sesuatu yang keluar dari mulut karena menganggap kotor semua yang keluar dari pantat maka kita semestinya tak akan pernah mau makan telur. Karena faktanya tak semua yang keluar dari pantat itu tai. Karena telor pun keluar dari pantat.

Hidup memang tak selalu senantiasa harus selalu melihat ke atas, sepertihal nya berjalan tak selalu harus mendongak dan membusungkan dada. Ada kalanya kita harus melihat kebawah dan menundukkan kepala untuk menemukan dan memahami pekerti hidup. Karena pintu kehidupan tak semuanya tinggi dan lapang.***

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga