Showing posts with label sunda. Show all posts
Showing posts with label sunda. Show all posts

Tuesday, April 12, 2016

Siapakah Raden Kian Santang ?

MAKAM GODOG. Pintu gerbang menuju ke bangunan makam Sunan Rohmat Suci alias Kian Santang di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Raden Kian Santang, salah satu nama yang begitu melegenda dan lekat di ingatan urang Sunda. kisahnya dituturukan dari generasi ke generasi berikutnya, bahkan pernah menjadi tayangan sinetron pavorit di salah satu televisi swasta nasional. Tak sulit bagi anda untuk menemukan sejarah perjalanan beliau di dunia maya. sudah ada begitu banyak artikel yang membahas topik tersebut dengan berbagai versi dan kajian masing masing. semakin jauh anda menelusur, akan semakin menemukan perbedaan pandangan antara satu sumber dengan sumber lainnya, termasuk tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan tokoh “Kian Santang” tersebut. Dari sekian banyak tulisan dan sumber mengenai tokoh ini, berikut saya rangkumkan untuk anda.

Siapakah Sebenarnya Raden Kian Santang

Semua penulis, penelusur dan penutur sejarah sependapat bahwa Kian Santang adalah seorang Pangeran atau Raden atau Bangsawan, putra dari Prabu Siliwangi, dari Kerajaan Pajajaran. Lebih dari hal itu ada banyak perbedaan pendapat. Sama seperti halnya dengan ayahandanya sendiri Prabu Siliwangi yang kisah hidupnya menjadi perbincangan banyak orang dengan berbagai versi dan pendapat masing masing.

Putra Bungsu Prabu Siliwangi dan Subang Larang

Telah disinggung dalam tulisan sebelumnya tentang Siapakah Sebenarnya Prabu Siliwangi, bahwasanya, Prabu Siliwangi atau Pangeran Jayadewata atau Sri Baduga Mahara memilki tiga Istri. Istri pertamanya adalah Ambet Kasih (putri dari Ki Gde Sindang Kasih), Lalu Subang Larang (putri dari Ki Gde Ing Tapang, penguasa Singapura (Cirebon saat ini) dan Kentring Manik Mayang Sunda. Dari Subang Larang lahir Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang, Putri Lara Santang dan Kian Santang.

Kentring Manik Mayang Sunda adalah putri dari Prabu Susuktunggal yang tak lain adalah putri pamannya sendiri yang juga Raja Kerajaan Sunda (Pakuan), Pernikahan tersebut sekaligus menjadikan Prabu Siliwangi sebagai pewaris Kerajaan Sunda dari pamannya, dan membuka jalan bagi penyatuan kembali kedua kerajaan (Galuh dan Kerajaan Sunda) menjadi kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan, sekaligus menjadikan Prabu Siliwangi sebagai Maharaja. Lalu siapa yang menjadi Permaisurinya ?.

MENDAKI ANAK TANGGA Jejeran anak tangga menuju ke Makam Sunan Rohmat Suci atau Kian Santang di kabupaten Garut - Jawa Barat

Apakah Kian Santang (pernah menjadi) Raja Pajajaran ?

Catatan sejarah menyebutkan bahwa penerus tahta Pajajaran sepeninggal Prabu Siliwangi adalah Surawisesa putra Prabu Siliwangi (dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda). Sehingga dapat dipastikan bahwa dalam hirarki kerajaan Pajajaran yang berhak untuk menjadi putra Mahkota adalah seorang putra yang lahir dari Kentring Manik Mayang Sunda selaku Pewaris kerajaan Sunda (Pakuan), dan dengan sendirinya kita dapat fahami bahwa yang menjadi permaisuri prabu siliwangi adalah Kentring Manik Mayang Sunda.

Permaisuri yang dimaksud disini adalah Permaisuri utama atau (salah satu) istri raja yang memiliki hak khusus sehingga anak laki laki yang dilahirkannya berhak mutlak sebagai pewaris tahta kerajaan alias menjadi putra mahkota. Seperti yang kita ketahui, bahwa para raja (biasanya) memiliki lebih dari satu orang istri, sehingga diperlukan ketetapan menunjuk atau memilih atau menentukan salah satunya sebagai permaisuri dengan berbagai pertimbangan, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian tentang pewaris tahta kerajaan yang berujung kepada perebutan tahta diantara keturunannya.

Dengan beberapa keterangan tersebut di atas dapat dipastikan bahwa Kian Santang memang putra Prabu Siliwangi akan tetapi bukan pewaris tahta kerajaan Pajajaran atau lebih tepatnya, bukan pewaris utama / pertama / perdana dari tahta kerajaan Pajajaran. Jadi ?, Kian Santang tidak masuk dalam jajaran tokoh yang pernah menjadi raja Pajajaran.

Pe-nokohan atau anggapan atau asumsi bahwa Kian Santang pernah menjadi Raja Pajajaran lalu mandeg pandito ratu atau sengaja meninggalkan tahta untuk tujuan lain termasuk untuk uzlah atau dakwah dan sebagainya bisa jadi sebagai akibat bias sejarah lisan antara tokoh Kian Santang dan Borosngora.

Tahta kerajaan Pajajaran memang pernah sementara waktu dipegang oleh Pangeran Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora atau Prabu Kuda Lalean atau Batara Guru di Jampang, sepeninggal Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di perang Bubad. Beliau memegang tampuk pimpinan kerajaan dikarenakan Pangeran Niskala Wastu Kencana selaku putra mahkota, ketika itu masih kanak kanak. Tahta Kerajaan diserahkan secara sukarela oleh Prabu Borosngora kepada Pangeran Niskala Wastu Kencana ketika sang pangeran telah mencapai usia dewasa.

RINDANG. Suasana di komplek makam godog tampak rindang, hijau royo royo dengan pepohonan tua da besar. Ditambah lagi dengan udara pegunungan yang sejuk di ketinggian sekitar 1100 meter dari permukaan laut.

Apakah Kian Santang adalah Penyebar Islam ?

Pendapat ini memanglah menjadi arus utama para penutur sejarah Pajajaran. Bahwasanya Kian Santang adalah seorang penyebar Islam. Hanya saja memang sejarah perjalanan Beliau menemukan Islam, yang terdapat kesimpangsiuran atau perbedaan alur cerita antara cerita tutur yang satu dengan lainnya. Arus utama hikayat hidup beliau menyebutkan bahwa, Kian Santang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada yang mampu menandinginya, sampai sampai beliau sangat ingin melihat darahnya sendiri (tertumpah karena berhasil dilukai oleh lawan tarungnya). Kemudian seseorang datang memberikan informasi bahwa yang mampu mengalahkan beliau adalah orang Arab yang bernama Sayidina Ali.

Singkat cerita beliau ahirnya berangkat ke tanah arab, dipelabuhan di tanah arab beliau bertemu dengan orang tua bertongkat yang siap mempertemukannya dengan Sayidina Ali. Kemudian sang pangeran di minta mencabut tongkat si orang tua yang ditancapkan di pasir pantai. Kian Santang gagal mencabut tongkat itu meski sudah mengerahkan seluruh kemampuannya. sejurus kemudian Kian Santang menyerah, si orang tua dengan mudah nya mencabut tongkat tersebut hanya dengan mengucapkan kalimat Basmalah. dan Itulah yang menjadi awal ber-Islam nya Kian Santang. Detil ceritanya memiliki beragam versi hanya saja inti-nya adalah seperti demikian.

Kisah pertemuan dengan Sayidina Ali tersebut, memiliki kesamaan alur cerita dengan perjalanan Prabu Borosngora, meskipun antara Kian Santang dan Prabu Borosngora Terpisah 4 generasi (Perhatikan silsilah raja Pajajaran). Bila saja yang dimaksud sebagai Sayidina Ali tersebut adalah Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang juga saudara sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad s.a.w, maka menjadi lebih rumit lagi, karena baik Kian Santang maupun Prabu Borosngora yang hidup empat generasi lebih dulu dari Kian Santang, sama sama tidak hidup di zaman yang sama dengan Sayidina Ali.


DARI BUBAT HINGGA KIAN SANTANG. ada kemiripan kisah perjalanan antara prabu BOROSNGORA yang naik tahta sebagai raja sementara setelah Prabu Lingga Buana Wafat di Bubat, dengan KIAN SANTANG yang merupakan Adik beda ibu dengan prabu SURAWISESA. Dua tokoh yang terpisah empat generasi dengan alur cerita yang nyaris sama. 

Khalifah Ali Bin Abi Thalib telah wafat sekitar tahun 661 Masehi (tepatnya tanggal 17 atau 19 Romadhon tahun ke 40 hijriah). Sedangkan Prabu Borosngora sendiri baru memegang (sementara) tahta Pajajaran menggantikan Kakaknya yang gugur di medan perang Bubat pada tahun 1357 masehi. lalu apa yang salah dengan kisah sejarah tutur tersebut ?. Kisah tutur dari Ciamis menyebutkan bahwa Prabu Borosngora bahkan menerima oleh oleh berupa sebilah pedang dari Sayidina Ali dan pedang tersebut masih ada hingga kini. Demikian juga dengan Kian Santang.

Bila didasarkan pada urutan waktu kejadian, Pastinya Sayidina Ali yang dimaksudkan bukanlah Sayudina Ali Bin Abi Thalib Khalifah ke-4 dari Khulafaurrasyidin. Baik dari Masa Borosngora sampai masanya Kian Santang, Pusat ke khalifahan Islam bahkan sudah berpindah ke Khalifah Usmaniyah (Otoman) di Turki bukan lagi di Jazirah Arab. Namun demikian hal yang demikian itu bukanlah hal yang tidak mungkin menurut para praktisi kebathinan. 

Menelusur lebih jauh ke belakang, telah disinggung sebelumnya bahwa Kian Santang adalah putra bungsu Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama Subang Larang anak dari Ki Gde Ing Tapang, Syah Bandar Singapura (kini Cirebon). Dalam sejarah berdirinya Masjid Agung Karawang, disebutkan bahwa Subang Larang adalah salah satu murid (santriwati) dari Syech Hasanuddin alias Syech Quro di pondok Quro Karawang. Pernikahan antara Prabu Siliwangi dengan Subang Larang terjadi setelah Sang Prabu memenuhi persyaratan yang diminta oleh Subang Larang, salah satunya adalah beliau (Prabu Siliwangi) harus ber-Islam.

Ditilik dari sejarah tersebut dapat kita fahami bagaimana sulitnya Subang Larang membesarkan anak anak nya secara Islami ditengah kehidupan kraton dan kerajaan yang masih menganut Sunda Wiwitan. Wajar bila kemudian beliau mengirim anak anak nya ke rumah orang tuanya di Cirebon untuk mendapatkan pendidikan Islam di suasana yang lebih Islami. Islam sudah berkembang dengan baik di Cirebon ketika itu. Artinya bahwa, ketiga anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang memang sudah berislam sejak masih dalam kandungan karena memang dilahirkan dari Rahim seorang ibu muslimah dari pernikahan yang juga dilaksanakan secara Islam. Tidak terlalu aneh bila setelah dewasa anak anak Subang Larang menjadi tokoh penyebar Islam di wilayah yang mereka pun memiliki hak atas nya.***

Tuesday, November 3, 2015

Siapakah Prabu Siliwangi ?

Apakah Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja ataukah Gelar bagi seluruh Raja Pajajaran ?

Lukisan Prabu Siliwangi di Kraton Kasepuhan Cirebon, Karya lukis dari pria bernama Tatang asal Garut yang melukisnya di tahun 2008 dan menyumbangkan untuk Keraton Kasepuhan. Tatang mengaku melukis Prabu Siliwangi setelah didatangi langsung oleh Prabu Siliwangi dalam mimipinya dan kemudian setelah itu langsung melukisnya. Perhatikan tulisan nama di bagian bawah lukisan “Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi”, menegaskan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja.

Sejarah tak pernah berpihak pada yang kalah. Sejarah yang anda baca tergantung pada siapa yang menulisnya. Penggalan dua kalimat itu seringkali kita baca dan kita dengar. Terkadang terasa ada benarnya. Bagaimanapun tak ada kebenaran yang hakiki ditangan manusia ahir zaman seperti kita. Prabu siliwangi, nama yang begitu harum seperti namanya, terutama di tatar pasundan sejarahnya ditulis dan dikenang dengan berbagai versi dan maksud masing masing. Perjalanan hidup beliau begitu melegenda dan meninggalkan begitu banyak hikmah dan pelajaran berharga sekaligus meninggalkan begitu banyak tanya.

Nama besarnya dikenang dalam berbagai kesempatan. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat mengabadikan namanya sebagai nama Komando Daerah Militer di wilayah propinsi Jawa Barat dan Banten dengan nama Kodam III Siliwangi, TNI Angkatan Laut juga pernah mengabadikan namanya sebagai nama kapal perang perusak kelas Skoryy buatan Uni Soviet dan dibeli dari Polandia tahun 1964 dengan nama RI Siliwangi. Nama beliau juga dipakai oleh berbagai organisasi pemuda dan kemasyarakatan, lembaga pendidikan, bangunan pendidikan hingga nama jalan protokol.

Siapakah Prabu Siliwangi

Ada dua pendapat tentang siapakah sebenarnya yang disebut Prabu Siliwangi ?.namun dapat ditarik satu garis merah bahwa kedua pendapat tersebut sepakat bahwa Siliwangi dari sudut pandang Bahasa Sunda, terdiri dari dua kata yaitu; SILI yang secara umum berarti penerus, dan WANGI secara umum bermakna harum mewangi. Namun WANGI yang dimaksud disini ditujukan kepada harumnya nama Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur bersama seluruh pasukannya, membela kedaulatan Kerajaan Pajajaran dalam perang Bubat melawan pasukan Majapahit.

Dalam perang Bubat, pasukan Pajajaran kalah jumlah dengan pasukan Majapahit, dan Prabu Maharaja Lingga Buana memutuskan melakukan perang habis habisan atau perang puputan melawan pasukan Majapahit demi membela negaranya. Perang Bubat dicatat dalam sejarah Nasional sebagai salah satu perang besar yang pernah terjadi di tanah Jawa dan merupakan salah satu penyebab dari melemahnya kerajaan Majapahit. Karena keberanian dan kebesaran Jiwa nya dalam membela negara itulah Nama beliau begitu mewangi di Pajajaran hingga digelari sebagai Prabu Wangi. Dan dari sana pulalah Nama Siliwangi bermula.

Lukisan kapal perang RI Siliwangi 201 (foto dari Wikipedia), kapal perang perusak yang pernah memperkuat armada TNI Angkatan Laut, dibeli dari Polandia tahun 1964. Saat ini sudah tidak beroperasi.

I. Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja

Pendapat pertama yang paling populer mengatakan bahwa Prabu Siliwangi adalah Nama Sebutan atau nama panggilan kehormatan kepada Pangeran Jayadewata alias Raden Pamanah Rasa yang ketika dinobatkan sebagai Maharaja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Disebut Maharaja karena memang beliau bertahta tidak hanya untuk satu kerajaan tapi menjadi raja bagi dua kerajaan sekaligus. Kerajaan Pajajaran atau ada juga yang menyebutnya sebagai Kerajaan Sunda yang dipimpinnya merupakan gabungan kerajaan Pakuan yang berpusat di Bogor dan Kerajaan Galuh.

Beliau disebut sebagai Siliwangi atau Penerus Prabu Wangi karena telah mengembalikan kebesaran Kerajaan Sunda seperti pada masa kakek buyutnya, Prabu Wangi. Disamping itu beliau juga telah kembali menyatukan kerajaan yang terpecah (Galuh dan Sunda/Pakuan), dua kerajaan yang disandingkan dengan kesetaraan dan kesejaraan hingga menjadi Pajajaran dan pada masa kekuasaan beliau Kerajaan mencapai kegemilangan yang luar biasa.

Sri Baduga Maharaja adalah anak laki laki dari Raja Sunda/Galuh yang bernama Prabu Dewa Niskala anak dari Prabu Niskala Wastu Kencana atau Prabu Raja Wastu, anak dari Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di perang Bubat. Pada saat Prabu Maharaja Lingga Buana gugur di Perang Bubat (1357), saat itu Pangeran Niskala Wastu Kencana masih kanak kanak, bila di hitung dari tahun gugurnya Prabu Lingga Buana di Bubat tahun 1357 sampai dengan tahun 1371 pada saat beliau dinobatkan sebagai Raja pada usia 23 tahun, itu berarti pada saat ayahnya gugur beliau baru berumur sekitar 9 tahun.

Itu sebabnya kemudian tahta kerajaan sementara waktu dipegang oleh Pangeran Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora atau Prabu Kuda Lalean atau Dalam BABAD PANJALU (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut PRABU BOROSNGORA. Selain itu ia pun dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung), beliau adalah adik dari Prabu Maharaja Lingga Buana, memegang kendali kerajaan sampai Pangeran Niskala Wastu Kencana mencapai usia dewasa.

Pangeran Niskala Wastu Kencana dinobatkan sebagai raja pada tahun 1371 bergelar Prabu Raja Wastu dan berkuasa hingga tahun 1475. Beliau memiliki dua permaisuri, permaisuri pertama bernama Lara Sarkati berasal dari Lampung, darinya lahir seorang putra bernama Sang Haliwungan. Permaisuri kedua adalah adik sepupunya sendiri, anak dari pamannya Prabu Bunisora, yang bernama Mayangsari, darinya lahir seorang putra bernama Ningrat Kencana. Di penghujung masa kekuasaannya beliau membagi dua kerajaannya untuk menghindari perebutan tahta kerajaan oleh dua putra-nya. Sang Haliwungan dinobatkan sebagai Raja Sunda/Pakuan bergelar Prabu Susuktunggal. Ningrat Kencana dinobatkan sebagai Raja Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.

Gedung Detasemen Markas KODAM III Siliwangi – Bandung. 
Ditahun 1482 kerajaan Galuh dan Pakuan kembali bersatu di bawah pemerintahan Pangeran Jaya Dewata yang setelah dinobatkan sebagai Maharaja bergelar Sri Baduga Maharaja. Hal ini dimungkinkan setelah Pangeran Jayadewata putra dari Prabu Dewa Niskala menikah dengan Ketring Manik Mayang Sunda, putri dari Prabu Susuktunggal. Di tahun itu Terjadi perpindahan pusat kekuasaan ke Pakuan (Bogor) dengan iring iringan yang teramat panjang dan meriah. di Pakuan Jawadewata dinobatkan diatas Palangka Sriman Sriwacana yakni tempat duduk terbuat dari batu mengkilap yang digunakan dalam prosesi penobatan raja raja Sunda. 

Dibawah Pemerintahan Sri Baduga Maharaja ini nama Pajarajaran sebagai nama resmi Kerajaan. sebagai penghormatan dengan mensejajarkan dua kerajaan yang diwarisi dari Ayahandanya sendiri dan dari paman sekaligus mertuanya. Kegemilangan Pajajaran di bawah pemerintahan Jaya Dewata dan bersatunya kembali dua kerajaan itu mengingatkan rakyat kepada kebesaran nama Prabu Maharaja Lingga Buana atau prabu Wangi yang gugur di perang Bubat, dan menjulukinya sebagai Siliwangi, dan nama julukan itu hanya dinisbatkan kepada dirinya.

II. Siliwangi Ada Banyak

Pendapat kedua menyatakan bahwa, yang disebut Prabu Siliwangi itu bukan hanya Pangeran Jayadewata alias Sri Baduga Maharaja saja tapi juga sebutan bagi seluruh raja Pajajaran yang semuanya adalah Penerus atau Sili dari Prabu Wangi atau Prabu Maharaja Lingga Buana. Pendapat kedua ini sepertinya lebih kepada menekankan kepada makna atau arti dari Siliwangi. Bukan kepada sebuah gelar yang diperuntukkan khusus secara unik kepada seseorang. Pendapat kedua ini memang tidak populer meski memang secara Bahasa dapat diterima oleh semua pihak. 

Pajajaran Paska Sri Baduga Maharaja

Berdirinya Cirebon Sebagai Kesultanan

Di penghujung kekuasan Sri Baduga Maharaja, beliau dihadapkan kepada suatu dilema yang cukup pelik, antara cinta seorang kakek kepada cucunya dengan upaya mempertahankan keutuhan kerajaan. Pangeran Cakrabuana yang berkuasa di Cirebon sebagai raja bawahan Pajajaran menyerahkan kepemimpinan Cirebon kepada menantu sekaligus keponakannya, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, menjadi awal berdirinya Kesultanan Cirebon yang melepaskan diri dari Kekuasaan Pajajaran.

Pangeran Jayadewata atau Sri Baduga Mahara memilki tiga Istri. Istri pertamanya adalah Ambet Kasih (putri dari Ki Gde Sindang Kasih), Lalu Subang Larang (putri dari Ki Gde Ing Tapang, penguasa Singapura (Cirebon saat ini) dan Kentring Manik Mayang Sunda (Putri Pamannya, Prabu Susuktunggal). Dari Subang Larang lahir Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang, Putri Lara Santang dan Kian Santang.
Logo KDAM II Siliwangi

Pangeran Cakrabuana kemudian ditunjuk oleh Sri Baduga sebagai penguasa Cirebon sebagai raja bawahan Pajajaran. Dikemudian hari Pangeran Cakrabuana menikahkan putri tunggalnya yang bernama Pakungwati dengan Keponakannya (putra kedua dari Lara Santang) yang bernama Syarif Hidayatullah, sekaligus menyerahkan tahta Cirebon kepada menantunya. Tahun 1479 Setahun setelah berdirinya Kesultanan Demak, Cirebon pun memproklamirkan diri sebagai kesultanan melepaskan diri dari pengaruh Pajajaran. Syarif Hidayat dinobatkan sebagai Sultan-nya dengan gelar Sunan Gunung Jati.

Lepasnya Banten dan Sunda Kelapa dari Pajajaran

Pajajaran sempat mengirimkan pasukan untuk menyerbu Cirebon namun gagal. Bisa jadi itu adalah sebuah serbuan setengah hati dari seorang kakek kepada cucunya. atau memang karena kondisi Pajajaran sendiri yang memang tidak memungkinkan untuk menaklukkan Cirebon. Di era yang sama Pangeran Surawisesa (putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayang Sunda) mulai bekerja sama dengan Portugis untuk memperkuat militer Pajajaran terutama untuk mempertahankan Sunda Kelapa, hal itu yang malah memicu serbuan besar besaran dari pasukan Gabungan Demak, Cirebon dan Banten ke Sunda Kelapa dengan tujuan utama mengusir Portugis dan menguasai Sunda Kelapa kembali, dan peristiwa itu kemudian setiap tahun diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta.

Perdamaian dengan Cirebon

Sepeninggal Sri Baduga Maharaja, Pangeran Surawisesa menjadi raja Pajajaran, selama kekuasannya terlah terjadi 15 kali pertempuran termasuk pertempuran melawan Cirebon. Peperangan demi peperangan semakin memperkokoh kekuatan Cirebon hingga ke sisi timur Sungai Citarum, di pantai utara Cirebon juga sudah menguasai Banten dan di pimpin oleh Maulana Hasanudin, putra Syarif Hidayat, dan Sunda Kelapa yang berganti nama menjadi Jayakarta dibawah pimpinan Fatahillah. kondisi yang sedemikian itu ahirnya membuat kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayatullah. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fatahillah (penguasa Jayakarta) dan Hasanudin (Penguasa Banten).

Penyesalan Prabu Surawisesa di Batu Tulis

Di tahun 1533, dua belas tahun setelah wafatnya Sri Baduga Maharaja, Prabu Surawisesa membuat Sasakala (tanda / prasasti peringatan) untuk mengenang kebesaran ayahandanya, barangkali juga sebagai bentuk penyesalan dan rasa bersalah kepada ayahandanya karena tidak mampu mempertahankan keutuhan dan kebesaran Pajajaran yang diwariskan ayahandanya. Prasasti yang kini dikenal sebagai batu tulis. Tatanan prasasati sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.

Prabu Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Pemasangan batutulis itu juga bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Dari makna prasasti batu tulis tersebut, jelas sekali bahwa Prabu Surawisesa mengakui dirinya tidaklah sebanding dengan ayahandanya. bahkan menolak menorehkan namanya di prasasti yang dia buat sendiri. Pajajaran tidak pernah kembali ke kejayaan Sri Baduga Maharaja, bahkan Nilakendra, raja Pajajaran ke lima harus melarikan diri dari Kraton di Pakuan menghindari serbuan dari Kesultanan Banten dan Raja Ke enamnya memerintah dari pengasingan sampai ahirnya Pajajaran dinyatakan berahir dengan diboyongnya Palangka Sriman Wacana ke Banten setelah Pakuan tidak berdaya menahan serbuan terahir Banten ke kraton Pajajaran di Pakuan. 

Kesimpulan

Dari uraian di atas, saya pribadi berkesimpulan bahwa Prabu Siliwangi adalah gelar yang diberikan oleh rakyat Pajajaran kepada Sri Baduga Maharaja sebagai bentuk penghormatan atas kebesaran kekuasaan beliau. Keagungan pribadi-nya membuat beliau juga digelari sebagai Pangeran Pamanah Rasa karena kehalusan dan keluhuran budi pekertinya dan kemampuannya dalam memerintah telah menjadikan Pajajaran sebagai kerajaan besar pada masa nya dan dikenang hingga kini. Wallahua'lam.***

Cikarang, 2 Nopember 2015