|
CURUG CIGENTIS - KARAWANG |
Tempat
Mandi Putri Keraton. Itu adalah kesimpulan yang menurutku paling
sreg yang dapat kutulis dari legenda curug Cigentis yang dipampang di pos
Perhutani di Curug Cigentis. Curug dalam bahasa Sunda berati Air Terjun. Sedangkan
nama Cigentis (juga menurut legenda) adalah nama putri keraton yang pertama
kali mandi di kolam yang terbentuk dari air terjun tersebut. Nama lengkapnya
adalah Nu Geulis Nyi Geuntis. Konon dia adalah anggota pasukan khusus kerajaan
Padjadjaran yang di utus oleh raja untuk mengawal atau lebih tepatnya ‘menguntit
dan mengawasi’ aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para wali di wilayah
Padjadjaran, tapi kemudian malah menjadi yang pertama berikrar memeluk Islam
diantara anggota kesatuannya.
Curug Cigentis merupakan salah satu wana wisata
yang dikelola oleh Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, KPH Purwakarta
Seluas 5,00 ha terletak di petak 47 c RPH Cigunungsari, BKPH Pangkalan, Secara
administratif pemerintahan terletak di Desa Mekar Buana Kecamatan Tegalwaru,
Kabupaten Karawang, berada pada 6°35 LS dan 107°12” BT, ketinggian tempat
600-1200m dpl dengan konfigurasi lapangan berupa pegunungan, bergelombang
kelerengan agak curam s/d curam. Jarak kota kabupaten Karawang ±40Km dapat
ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Sedangkan dari daerah Bogor
dapat melalui Cariu.
|
Legenda Curug Cigentis (klik untuk memperbesar) |
Kendaraan apapun yang anda pakai ke wanawisata
satu ini, pada ahirnya haruslah tetap berjalan kaki dari pos perhutani menuju
ke air terjun ini sekitar 200 meter. Jalanan menuju ke lokasi sebagian besar
sudah di cor beton. Tersisa sekitar 1.5 km yang masih berupa jalan berbatu
keras dan menanjak cukup ekstrim. Bila malas berjalan kaki, beberapa penduduk
setempat menyediakan jasa ojek hingga ke lokasi parkir motor terahir beberapa
meter dari pos perhutani. Namun naik ojekpun harus punya nyali mengingat tanjakan
yang dilalui memang cukup ekstrim.
Mari kita cerna
Di pos perhutani tempat membeli tiket masuk
seharga Rp. 10 ribu per orang, sudah dipampang spanduk besar yang menceritakan
legenda tentang curug Cigentis. Lumayan untuk sekedar menambah pengetahuan. Meskipun
legenda yang ada memang terlalu banyak celah untuk dikomentari. Silahkan bersabar
untuk melanjutkan membaca ulasannya berikut ini sampai tuntas, untuk menemukan
celah celah yang saya maksud. Mari kita cermati, Legendanya begini :
“Beberapa
ratus tahun yang silam pasinggahan (Sekarang Curug Cigentis) adalah hutan
belantara yang kering/kekurangan air, merupakan salah satu daerah kekuasaan
Prabu SIliwangi yang bernama Prabu Sukma Rasa.
Bila dibaca dengan baik rasanya terlalu janggal
bila hutan belantara dalam kondisi kering/kekurangan air. Bagaimana mungkin
tanaman akan tumbuh apalagi sampai menjadi hutan belantara bila kekurangan air.
Legenda itu memberikan berita bahwa hutan di gunung Sanggabuana sudah ada sejak
beberapa ratus tahun silam. Walaupun mungkin belum ada aliran sungai yang kini
membentuk curug cigentis.
Lalu Siapakah itu “Prabu Siliwangi yang bernama Prabu
Sukma Rasa”?. Ahli sejarah memang terbagi dua pendapat tentang Prabu Siliwangi.
Pendapat pertama mengatakan bahwa Prabu Siliwangi itu hanya satu yakni Sri
Baduga Maharaja. Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa Prabu Siliwangi itu
ada banyak karena itu adalah gelar bukan nama seseorang dan bukan hanya Sri
Baduga Maharaja yang bergelar Siliwangi. Hanya saja, saya tidak menemukan Nama
Prabu Sukma Rasa diantara jejeran nama Raja Padjadjaran. Mungkin yang dimaksud
adalah Raden Pamanah Rasa (karena ada kata “Rasa”) yang merupakan nama lain
dari Sri Baduga Maharaja.
Pada
masa penyebaran Islam di Pulau Jawa Oleh Wali Songo, Curug Cigentis
merupakan salah satu tempat yang disinggahi, daerah tersebut sebagian besar
masyarakatnya beragama Hindu. Walaupun sebelumnya telah meminta ijin
tetapi Prabu Siliwangi mempunyai kecurigaan kepada para wali (6 orang wali)
tersebut, dikhawatirkan akan merebut kekuasaan, untuk mengawasi gerak gerik
wali tersebut, Prabu SIliwangi tetap mengijinkan tetapi menyertakan pengawal
yang sebenarnya telah di bai’at (doktrin) setia dengan alasan sebagai pengawal
para wali.”
Dengan mudah anda akan bertanya, WaliSongo itu
ada sembilan atau 6 orang sih?. Baiklah kita anggap saja bahwa dari sembilan
wali yang ada hanya enam orang yang terlibat dalam legenda tersebut. Hanya saja,
agama masyarakat Sunda adalah Agama Sunda Wiwitan bukan agama Hindu. Tapi
baiklah bisa jadi di daerah Cigentis dimasa itu penduduknya beragama Hindu, jadi
wajar bila kemudian para pengawal wali itu tak terlalu keberatan para wali
berdakwah disana karena toh agama yang dianut bukan agama mayoritas. Bila itu
benar maka semestinya di sekitar Cigentis terdapat peninggalan era Hindu berupa
candi atau lainnya. Yang ada saat ini disekitar Cigentis justru situs batu
Tumpang tak jauh dari Curug Peteui yang lebih mirip sebagai peninggalan masa
animis ataupun megalitikum.
“Curug
Cigentis pada saat itu merupakan daerah yang kering tidak ada air sama sekali,
guna keperluan hidup dan beribadah para wali berdo’a bermunajat memohon dengan
penuh kepasrahan, khusu’ serta penuh kesabaran, atas kekuasaan Tuhan YME
dari sebuah batu yang besar keluarlah air, membentuk sebuah air terjun (Curug).
Orang orang yang berada pada lokasi tersebut serentak merasa kaget, sekaligus
kagum dan suka cita, tidak terkecuali para prajurit Prabu Siliwangi yang
ditugaskan mengawal para wali tersebut. Salah satu pengawal yang bernama “Nu
Geulis Nyi Geuntis” secara spontan “berikrar” masuk agama Islam. Karena
beberapa hari tidak mandi dan kekurangan air, Nyi Geuntis sari sambil sambil
mengucapkan kalimat mengagungkan Tuhan (Allohu Akbar 3X) langsung terjun dan
mandi pada Curug tersebut. Melihat hal tersebut, maka para wali menamakan
curug tersebut dengan “Curug Cigentis”
Sebenarnya para wali, para pengawalnya dan
orang orang yang mengikuti mereka itu, berkumpul dibagian mana sih?. Di tempat yang kini jadi air terjunnya, atau
di dekat batu besar yang mengeluarkan air?. Bila mereka berkumpul di dekat batu
besar yang mengeluarkan air berarti lokasinya berada di bagian atas dari Curug
Cigentis saat ini, berarti “Nu Geulis Nyi Geuntis” itu adalah pengawal sakti
yang mampu terjun dari bagian atas curug setinggi lebih dari 20 meter untuk
mandi pada curug tersebut.
Bila memang air yang mengalir di Curug Cigentis
berasal dari sebuah batu besar semestinya hingga hari ini pun batu besar yang
mengeluarkan air tersebut masih dapat kita temui disana, faktanya curug
cigentis berasal dari air aliran sungai kecil yang terbentuk dari begitu banyak
mata air di Gunung Sangga Buana, yang melewati tebing curam hingga membentuk air
terjun. Atau jangan jangan batu besar yang dimaksud adalah gunung sanggabuana
itu sendiri.
“Melihat
apa yang dilakukan Nyi Geuntis Sari pengawal yang lain pun ikut masuk Islam
yang dipimpin salah satu wali yang bernama Kyai Bagus Sudrajat antara
lain Putri Komalasari, Putri Melati, Putri Cempaka, Putri Sri Dayang Sari,
Putri Sri Kunti, Putri Kaling Buana, Ibu HArum Sari, Ibu Harum Melati, Putri
Malaka Mekah, Putri Malaka Hujan, Putri Rangga Huni, Resi Taji Malaka, Ganda
Malaka, Guntur Roma, Rd. Jaka Tunda dan Masyarakat lainnya.”
Diantara para pembaca adakah yang bisa membantu
saya untuk menjelaskan siapakah anggota walisongo yang bernama Kyai Bagus
Sudrajat itu. Karena dibagian awal tadi disebutkan bahwa ‘para wali’ yang
dimaksud adalah walisongo?.
Bila mengamati nama nama para pengawal wali
itu. Saya lebih memilih untuk menyebutnya sebagai ‘Para Penggoda Wali” bukan “pengawal
wali”. Bagaimana tidak, dari 15 nama
yang disebut itu 12 diantaranya adalah perempuan dan 9 diantaranya bergelar
Putri. Yang namanya putri pastinya cantik, mustahil ganteng dong.
|
Hei, itu aku |
“Disekitar
lokasi tersebut terdapat sebuah bukit yang sering dipakai pertemuan oleh para
wali sehingga lokasi tersebut sampai saat ini dikenal dengan puncak
sanggabuana. Sangga = sembilan menandakan wali sembilan dan ‘Buana” = tempat
dimana lokasi tersebut sering dipakai berkumpul dalam penyebaran agama ke
daerah Cirebon, Demak, Kudus, Banten, Garut, Pemijahan Tasikmalaya, dan lain
lain. Konon yang membagi bagikan tugas tersebut adalah Syekh Muhidin Abdul
Kodir Zaelani.
Salah
satu petuah pawa wali yang menjadikan daerah tersebut berkeramat adalah ‘ikuti
jejak kami’ kalau kita mempunyai maksud dan tujuan tetap meminta kepada Allah
SWT (dari berbagai sumber)”.
Pada alenia ini terkesan terlalu dipaksakan
untuk menghubungkan puncak Sanggabuana dengan Walisongo. Sangga dan Sanga
memiliki makna yang jelas berbeda. Sangga bermakna penopang, sedangkan Buana
atau Buwana bermakna Dunia atau semesta. Fakta menunjukkan bahwa Gunung Sanggabuana
di Karawang merupakan titik tertinggi di wilayah Karawang. Bisa jadi disebut
dengan nama Sanggabuana (penopang dunia) karena faktor tersebut.
Lebih menarik
lagi dalam legenda itu disebutkan nama Syekh Muhidin Abdul Kodir Zaelani
yang membagi bagikan tugas kepada para wali(songo). Mungkin yang dimaksud
adalah Abdul Qodir
Jailani (1077–1166 M). Hanya saja
beliau tak sejaman dengan walisongo.
Dan dari
paparan legenda itu saya hanya mampu mempuat kesimpulan yang menurutku paling sreg bahwa Curug
Cigentis itu legendanya adalah tempat mandinya putri keraton. Yang sedangkan
bagian lain dari legendanya justru lebih menarik untuk di diskusikan ulang. Atau
mungkin ada yang berminat untuk mulai menggali lebih jauh legenda itu, termasuk
kemungkinan untuk menemukan sebuah candi Hindu di sekitar Cigentis dan
Sanggabuana. Siapa tahu.