Showing posts with label kampung halaman. Show all posts
Showing posts with label kampung halaman. Show all posts

Sunday, June 18, 2017

Marhaba Di Masjid Jami’ Gelumbang

Masjid Jami' Babussalam Gelumbang

Marhaba adalah sebutan bagi prosesi potong rambut dan pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Biasanya masyarakat Gelumbang akan melaksanakan prosesi Aqikah dan pemberian nama bagi putra putri mereka di Masjid Jami’ Babussalam di simpang empat tengah laman Gelumbang.

Prosesi di mulai dengan pembacaan Kitab Albarzanji, lalu dilanjutkan dengan prosesi pemotongan rambut bayi oleh para hadirin yang berdiri berjejer rapi sambil melantunkan puji pujian kepada Nabi kita yang mulia Muhammad S.A.W.

Salah satu syair dari puji pujian itu berbunyi “Marhaban ya Nuroaini….marhaaabaaa”…. itu sebabnya prosesi ini terkenal dengan sebutan acara Marhaba. Selama puji pujian itu dilantunkan bayi yang di Marhabai (di potong rambut dan di beri nama) akan di gendong oleh ayahnya atau pamannya atau kakeknya, atau oleh kerabatnya yang laki laki, berkeliling menghampiri para jamaah untuk di potong rambutnya.

Rambut bayi yang sudah di potong akan dimasukkan ke dalam kelapa muda yang sudah di potong bagian atas nya. Sementara jamaah yang sudah melakukan pemotongan rambut akan dihadiahi semprotan wangi wangian dari salah pengiring bayi, dan satu buah telok abang dari pengiring bayi yang lain nya.


Telok abang adalah sebatang lidi  atau bamboo yang diserut halus di hias dengan kertas warna warni, di ujungnya dipasangi bendera Merah putih, dibawah bendera digantungkan uang kertas (tergantung seberapa mampu dan ridho si empunya hajat) dibagian bawah nya lagi kadang kadang di gantungi nama  bayi bersangkutan dan dibagian paling bawah terdapat telor ayam rebus yang sudah diberi warna merah (Abang = Merah). Masing masing jemaah akan diberi satu telok abang sebagai oleh oleh.

Terahir kali ikutan acara marhaba di masjid ini sudah lammaaaa sekali, saat masjidnya masih belum semegah ini. Malam itu saya dapat berkah menggendong bayi ajaib yang sama ajaibnya denganku yang menggendongnya, kami berdua sama sama diberkahi dengan tanda di wajah yang diberikan langsung oleh Allah SWT.

Bayi itu diberi nama oleh ayahnya, Muhammad Marten, keren kan. hanya saja sejak menggendongnya malam itu, belum pernah ketemu dia lagi, dah keburu pindah ke lain pulau lalu ke pulau berikutnya. Halo Muhammad Marten, how are you and where are you now. Where ever you are, may Allah always blessing you, and success 4U.  

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------
Baca Juga

Saturday, June 10, 2017

Cerita Kecil dari Masjid Jami' Babussalam Gelumbang

Masjid Jami' Babussalam Gelumbang hasil pembangunan terahir 2011-2012

Sampai pertengahan tahun 1978 masjid ini masih berupa masjid khas kesultanan Plembang dengan atap limas bersusun tiga, empat sokoguru di tengah ruangan, flapon dari kayu, dinding bata lebar (ukuran batu batanya lebih besar dari batu bata saat ini), jendela jendela kayu berukuran besar dengan teralis kayu bundar profil bubutan.
.
Tahun tahun itu masih seringkali ngintilin kakekku (alm) Idrus Bin Topa sholat jumat datang duluan duduk di shaf depan sampai ketiduran dipahanya dan bangun bangun sudah di rumah, saking puleznya pulangnya digendong. . . Xixixi .
.
Kala itu, jemaah yg "beruntung" selama di dalam masjid seringkali dapat "hadiah" serbuk kayu dari struktur atap masjid yg dimakan kumbang yang sekalian nyarang disana, lebih mantab lagi bila pas kumbangnya kebelet, hah, selamat nimba disumur samping masjid buat bersuci lagi .

Baca juga

Friday, June 10, 2016

Legenda MUHAMMAD ALI dari SDN 1 Gelumbang

Amerika itu jaraknya ribuan kilometer dari gedung sekolah di kampung kami ini, tapi rasanya waktu itu si Muhammad Ali jagoan tinju itu adalah orang Mari, hanya karena namanya MUHAMMAD ALI.

Dulu waktu masih sekolah di SD dikampung halaman, beberapa kali kegiatan belajar mengajar dihentikan. Kepala sekolah membawa semua murid berjalan kaki dengan tertib menuju ke halaman kantor kecamatan. Untuk Upacara ? ternyata bukan. Tapi untuk nonton siaran langsung pertandingan tinju Muhammad Ali dari pesawat televisi satu satunya di ada di seluruh wilayah Marga Gelumbang yang kala itu masih dipimpin oleh seorang Pasirah.

Saya sendiri masih terlalu kecil waktu itu untuk mengingat siapa yang menjadi lawan tanding sang legenda kala itu, yang pasti saat itu bahkan sama sekali tak terpikir bahwa Muhammad Ali itu adalah orang Amerika. Namanya saja Muhammad Ali, dia pastinya orang Indonesia suku melayu yang jago tinju dan juara dunia, begitu pikiran bocah ku kala itu.

Tak sampai disitu lho Bro dan Sis. Ketika menjelang lulus SD, murid murid sekolah disuruh oleh pak dan bu Guru untuk belajar ber-tanda tangan, karena nanti setelah lulus akan dapat ijazah dan ijazahnya harus ditandatangani oleh masing masing murid yang lulus. Akupun ikutan sibuk belajar bikin tanda tangan.

Sekian belas tahun kemudian aku baru menyadari sesuatu. Tanda tanganku yang lebih mirip coret coretan tak jelas itu, ketika dicermati dengan baik ternyata dapat dibaca dengan jelas membentuk sebuah nama dan nama itu bukanlah namaku, tapi nama MUHAMMAD ALI.

Ah, Sang legenda itu hari ini telah pergi, akan tetapi sepertinya aku akan mengingatnya dan mengingat dua nama yang ada di dua patah kata itu setiap kali bertanda tangan resmi.

Wednesday, November 19, 2014

Stasiun Gelumbang Jilid 2

Stasiun Gelumbang sekitar tahun 1926, siapakah gerangan mereka?
Halo bro, kita balik lagi ke stasiun Gelumbang, melanjutkan posting sebelumnya yang berjudul Stasiun Gelumbang Juni 1926. Kali ini ada selembar foto ke dua tentang stasiun Gelumbang dari COLLECTIE_TROPENMUSEUM, di ambil dari wikipedia. Foto itu berjudul Loket en perron van een spoorwegstation.

Foto satu ini sepertinya berumur sedikit lebih muda dari foto sebelumnya meski kemungkinan masih di tahun yang sama (tahun 1926). Perhatikan pada bagian papan pengumumannya. Pada foto pertama hanya terdapat empat lembaran yang dipajang disana. Lalu di foto kedua ada lembaran berikutnya yang dipasang diatas ke-empat lembaran sebelumnya.

Memperhatikan sudut pemotretannya, foto kedua ini sepertinya diambil oleh seseorang dari atas kereta. Bisa jadi pemotret adalah penumpang dari kereta yang sedang berhenti atau melaju sangat lambat disana. Mengingat bahwa foto yang dihasilkan bersih dari objek yang terdistorsi karena laju kendaraan si pemotret.

Foto ini juga tidak diambil oleh seseorang yang sedang berada di bagian lokomotif. Karena pada saat kereta berhenti di satu stasiun, lokomotif nya akan berada jauh dari area tunggu penumpang atau area loket penjualan tiket.

Menariknya lagi, kalaulah foto ini dibuat oleh seorang penumpang kereta dari sebuah kereta penumpang (bukan kereta barang), maka dipastikan kereta tersebut bukanlah kereta yang dinanti oleh tiga pria yang sedang duduk berjongkok di stasiun itu. Gestur-nya tak menunjukkan orang yang akan menaiki kereta tersebut.

Mungkin kereta yang berhenti itu adalah kereta yang bukan kelasnya kaum pribumi, mungkin di jaman itu (masih) ada pengelempokan Londo dan Inlander, ataupun mungkin 3 pria pribumi itu memang tidak mampu membeli tiket kereta tersebut karena terlalu mahal ataupun mungkin-juga mereka ber-3 tak sudi naik kereta bergabung dengan para Londo. Entahlah. Atau malah mereka ber-3 sekedar nongkrong di stasiun sambil ngobrol menikmati rokok tembako kawung yang dalam lidah orang Gelumbang disebut “Rokok Deun”.

Satu hal yang pasti, bahwa saya belum tahu, siapa gerangankah tida pria yang lagi santai itu. Belum tahu juga apakah gerangan objek seperti kurungan singa di belakang mereka itu, memangnya di Gelumbang pernah ada singa?. Apakah itu properti stasiun kereta, atau barang bawaan tiga pria itu, entahlah.

Foto itu setidaknya sudah berumur 88 tahun, rasanya kecil kemungkinan bila 3 pria itu saat ini masih hidup. Bahkan anak anak yang ada di belakang mereka itu pun bila masih hidup saat ini pastinya sudah sepuh. Atau bisa jadi dari salah satu yang membaca tulisan ini dapat mengenali orang orang dalam foto itu sebagai karuhun mereka, hingga kisah selembar foto itu akan semakin panjang. Siapa tahu.


Monday, November 17, 2014

Stasiun Gelumbang Juni 1926

Stasiun Gelumbang, Juni 1926
Sulit sekali untuk menemukan foto foto sejarah Gelumbang. Untuk yang belum tahu, Gelumbang itu adalah nama kelurahan di kecamatan Gelumbang, (masih) berada di dalam kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Itu Kampung halaman-ku.

Dengan memasukkan beragam varian nama Gelumbang, Glumbang, Geloembang, Gloembang ke kolom pencarian mbah google hasilnya nyaris nihil. Hasilnya hanya menemukan dua lembar foto. Salah satunya adalah foto diatas itupun tanpa penjelasan yang memuaskan.

Usut punya usut tentang siapakah para menir yang ada di dalam foto itu dijelaskan di situs keluarganya stevels yang menjelaskan tentang silsilah keluarga mereka satu persatu. Dan disebutkan bahwa yang ada di dalam foto diatas adalah sebagai berikut :

Juni 1926 Koleksi milik KITLV.
Stasiun Kereta Api Milik Negara Geloembang di Palembang, Sumatra Selatan
Dari kiri: A.J.G. Stevels (Kepala Administratur Tebenan), H. G. Supplies, Kuiper, Schrieke and N.A.F. Grundlehner (perwakilan dari Advoland Consultancy for Agricultural Affairs)

A.J.G. Stevels menikah dengan Jannetje Margaretha Hendrika Louise Pitters yang lahir di Fort de Kock pada tanggal 22 February 1895, dan wafat di tahun 1930, dia sempat berada di Kamp Kramat sebagaimana dijelaskan dalam registrasi Kamp Kedoengbadak, kemudian tinggal di den Dolder dan tidak memiliki keturunan. [i]

Situs itu tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Termasuk jadi diri empat Belanda lainnya itu, dalam rangka apa dia ke sana, atau sekedar singgah dan sebagainya. Apakah mereka sedang dalam perjalanan dinas mengingat beliau (Pak Stevel) dalam foto itu juga bersama dengan konsultan urusan pertanian.

A.J.G Stevels disebutkan sebagai Administratur Tebenan. Tebenan adalah salah satu Unit Usaha Perkebunan milik Belanda di Banyu Asin (Sumatera Selatan) yang bergerak di bidang Perkebunan Karet yang (kini) berlokasi di Desa Suka Mulya Kecamatan Betung Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Unit usaha tersebut dikemudian hari setelah Indonesia Merdeka di-Nasionalisasi kedalam perusahaan milik negara PT. Perkebunan Nusantara 7 (PTPN 7) yang berkantor pusat di Bandar Lampung. [ii]

Anda punya cerita lain tentang Gelumbang tempo doeloe ?. bagi bagi donk.

Friday, August 23, 2013

Dongeng PejEratan

Makam Pendiri Gelumbang, di dalam bangunan beratap, makam di bagian depan foto bertuliskan "cucu Fatahillah". 
Anda tahu apa itu pejEratan ?. tidak tahu kah, itu sangat wajar, karena memang perkiraan saya sih 90% lebih penduduk Negara ini tak faham arti kata itu. pejEratan merupakan kata dalam bahasa Belida atau Blide yang berarti pekuburan alias pemakaman. Jangan salah menyebutnya apalagi sampai terpeleset menjadi pejelatan, karena pejelatan artinya adalah mainan. Dan masalah pejEratan bukanlah masalah pejelatan, iya kan. Belida sendiri merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan sepanjang tepian sungai Belida, salah satu anak sungai Musi di provinsi Sumatera Selatan.

Di kampung kami di kelurahan Gelumbang yang masuk dalam wilayah Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan, (dulunya) PejEratan berada di ujung kampung di bagian hilir, dan sama seperti halnya pemakaman di bagian lain negeri ini yang selalu di identikkan dengan angker, seram, hantu, pocong, kuntilanak, genderuwo, arwah penasaran, klenik, mitos, mistik dan lain sebagainya.

Di bagian depan pejEratan itu dulunya ada beberapa pohon besar dan tinggi salah satunya adalah pohon cempedak yang berdiri kokoh hanya beberapa depa dari ruas jalan lintas (tengah) Sumatera yang menghubungkan kota Prabumulih di selatan ke kota Palembang di utara. Di bawah pohon besar itu dulu semasa kanak kanak kami seringkali nongkrong menjajakan burung betet kepada para pengguna jalan yang lalu lalang bersama teman teman.

Tak ada rasa takut atau seram kala itu itu, karena memang tidak sendiri. Apalagi diantara kami ada beberapa orang adalah teman teman senior yang jauh lebih tua yang salah satunya kini telah menjadi “pengusaha muda Gelumbang” alias orang terkaya di Gelumbang, karena kesuksesan bisnis yang digelutinya, pastinya bukan karena jualan burung Betet, ya.

pejEratan yang dulu berada di ujung kampung yang sunyi senyap kini sudah berada di tengah keramaian. Dan tentu saja bukan karena pejEratannya yang bergeser tapi karena memang kampungnya yang telah berkembang pesat. Pohon pohon besar di tepian jalan di depan nya kini sudah lenyap beganti dengan beberapa rumah dan ruko yang konon pemiliknya membeli lahan tersebut dari seseorang secara sah, meski terasa agak aneh mengingat pejEratan itu (konon juga) merupakan lahan bersama dan sejak dulu sudah penuh sesak dengan makam makam tua hingga ke tepian jalan raya, tapi begitulah.

Memang sih sebagian lahan yang oleh masyarakat dianggap sebagai “lahan pemakaman umum” itu memang merupakan lahan pribadi yang tidak pernah ada pernyataan resmi dari pemilik nya untuk dijadikan areal pemakaman umum, meski pihak keluarga kemudian memakamkan jenazah kerabat mereka disana dan dikemudian hari di ikuti oleh kerabat yang lain. Lalu di hari yang lain jenazah orang lain pun turut dimakamkan disana tanpa sepengetahuan pemilik lahan dan walahasil semakin hari semakin bertambahlah hingga terkesan seolah olah seperti lahan pemakaman umum.

Makam Pendiri Gelumbang

Di pejEratan Gelumbang terdapat satu makam yang terlihat sangat menyolok berbeda dengan yang lain, karena merupakan satu satunya makam yang diberi atap di area tersebut. Bangunan makam yang dalam bahasa Belida disebut Gobah. Makam tersebut merupakan makam pendiri Gelumbang. Merujuk kepada nama yang di tulis di dinding bangunan makamnya serta di batu nisannya, beliau bernama Raden Mardin Bin Raden Wiharjo (1452M) beserta istrinya bernama Huminah Binti Dinharjo (1452M).

Raden Mardin Wiharja. diyakini sebagai nama dari pendiri Gelumbang yang kini menjadi Kelurahan di dalam lingkup wilayah Kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan. 
Masih di dalam gobah juga terdapat dua makam lainnya yang nisannya sama sekali baru yakni makam dari Abdullah Bin Hasbullan (1505-1772) dan R. Afillah atau mungkin Rafillah Bin Mardin (1792H), hanya saja yang terahir ini satu satunya yang bertarikh Hijriah, sedangkan yang lainnya bertarkh masehi.

Saya pribadi cukup surprise dengan nama nama yang tertulis disana mengingat selama ini masyarakat setempat mengenal makam tersebut tak lebih dari sebutan “Makam Junjungan Dusun” tanpa nama. Dan tak ada seorang pun yang pernah menyebut siapa nama beliau sebenarnya. Lebih surprise lagi karena semua tulisan nama nama dan tahun yang ada adalah “barang baru” karena memang ditulis diatas sebuah batu nisan yang terlihat masih baru, tulisan di dinding makamnya juga masih baru yang sepertinya dibuat bersamaan dengan perbaikan bangunan tersebut.

Makam aslinya dulunya hanya berupa gundukan tanah seperti sarang semut yang menggunung tinggi diatas sepasang makam dengan nisan tanpa nama dan memang sudah diberi atap. Disebut sebagai sepasang makam dikenali dari bentuk nisannya, kebiasaan masyarakat setempat bahwa nisan bentuk bundar untuk makam laki laki dan nisan bentuk pipih untuk makam perempuan, dan sudah lumrah bila makam suami istri biasanya berdampingan. Nisan baru dengan nama dan tarikh nya itu diletakkan bersebelahan dengan nisan aslinya.

Lebih surpise lagi ketika mendapati begitu banyak nisan nisan baru yang juga bertarikh abad ke 15 di sisi kiri dan kanan bangunan tersebut, ditambah lagi beberapa makam yang berada agak ke selatan, tiga diantaranya ditulis dengan nama “Cucu Fatahillah”. Cukup penasaran dengan fakta yang ditemui hari itu.

Nisan nisan baru yang ada di sisi kanan (utara) bangunan makam (gobah) terdiri dari : Wahyu Utama Prabu Jatiraga (1792), Dharma Hastina (482m) Wali Allah (1604M), Hasni Barowawi (1792M), Syahidan Bin Arya Sahdan Muria Binti Sumiyah (1560), Amatullah Raden Sahdan (1792M), Anggap Wali (Tanpa tarikh), Raden Kusuma (1555M), Tasaka bin indrawati (tanpa tarikh), Tassxxx (Tak terbaca dengan jelas) (1452m), K.Hardi Purwa Dihardja (tanpa tarikh), Alang Wigiarta Kencana - Ki Mata Elang (1560m), R.J Sri Gana (tak bertarikh), Sultan Wigiarta - Ki Wage (tanpa tarikh),

Di sisi selatan (sebelah kiri Gobah) : Raden Rahaxxxx (tak bertarikh), Putri Kembang Rangga Tasaka (tanpa tarikh), Raden Wiharja (1224m), Cut Arda Ratu Seribu (1481m), Prabu Satria Sancaka (1792m), Ki Harja Purwa Dihardja (1542m), Raden Arda Tasaka (1560m), Raden Batu Lambang (1420m). ditambah dengan lima makam yang berada kira kira di di bagian depan Gobah terdapat empat makam cucu Fatahillah (tak bertarikh), Hambiyatullah Fatah (1600m).

Cukup penasaran untuk sekedar tahu siapa gerangan yang membuat dan memperbaiki gobah makam junjungan dusun itu, tokoh masyarakat kah ? atau ketua adat kah? Atau pihak lain. Pembuat dan pemasang nisan baru dengan tarikh yang sudah teramat tua di areal tersebut sepertinya melupakan kaidah local tentang bentuk nisan yang lazim dipakai, tapi usaha nya patut di appresiasi. Menjadi semakin penasaran mengingat begitu akuratnya tarikh tahun yang ditulis di masing masing makam, pastinya si pemasang memiliki sumber sejarah yang mumpuni.

Empat nisan bertarikh yang sama tahun 1792 (abad ke 18), dua nisan bertarikh abad kw 17, lima nisan dari abad ke 16, tiga nisan dari abad ke 15, satu nisan dari abad ke 13 dan yang paling menarik adalah adanya satu nisan yang bertarikh tahun 482 atau abad ke 5 masehi.  Bila itu benar boleh jadi makam itu sebagai (salah satu) makam paling tua di tanah Sumatera.

Dari Ahli Waris

Sejauh ini saya tidak (atau belum) menemukan sumber di kampung halaman yang mampu membeberkan secara akurat tentang hal hal yang sudah disebutkan tadi, sampai dua hari setelah berziarah kesana seorang teman lama berkunjung ke rumah dan ahirnya mengakui bahwa dialah yang memasang nisan nisan baru lengkap dengan nama dan tahun tersebut sekitar dua tahunan yang lalu. Dan dia mengaku bahwa semua sumber data dia dapatkan langsung dari ahli waris atau keturunan dari yang bermakam di Gobah tersebut. Karena si ahli waris kini masih menetap di Surabaya beliau menitipkan hal tersebut ke teman lama yang satu ini.

Bahasan menjadi manarik karena topik satu ini terbilang sangat jarang dibicarakan atau setidaknya belum pernah kudengar sebelumnya. Sekian tahun lalu di kelurahan Gelumbang masih sempat mengikuti satu kali perayaan yang disebut “sedekah pedusunan” sebuah acara yang sebenarnya untuk memperingati berdirinya kampung tersebut dengan salah satu seremoninya adalah ziarah beramai ramai ke makam leluhur, saat itu ziarah ke gobah makam di Talang Manyan. Dalam kata sambutan yang disampaikan oleh tokoh setempat saat acara pun tidak membeberkan apalagi mengulas tentang sejarah kampung dengan jelas. Acara sedekah pedusunan itupun kini menghilang.

Lebih menarik lagi ketika kawan lama ku itu menjelaskan bahwa dari informasi yang didapatkannya, Raden Mardin Wiharjo yang bermakam di Gobah junjungan dusun merupakan pendatang dari kerajaan di tanah Jawa dari trah Hamengkubuwana I Raja Mataram. Sampai dititik tersebut setidaknya memberikan penjelasan bahwa memang sejak awal berdiri-nya kampung tersebut, penduduk Gelumbang sudah memeluk agama Islam. mengingat Mataram sendiri memang merupakan kerajaan Jawa meneruskan tahta Kesultanan Pajang dan Demak. Diskusi malam itu memang terlalu singkat untuk membahas detil termasuk tarikh tahun yang ditulis di masing masing makam.

Rupa bumi yang mulai berubah

Para pendiri kampung tersebut dulunya datang melalui jalur sungai hingga ahirnya tiba di tanah yang kini menjadi kelurahan Gelumbang. Hanya saja sungai yang dulu mereka gunakan sebagai jalur transportasi utama itupun sudah lenyap sejak berpuluh tahun yang lalu, yang tersisa hanya rawa rawa yang biasa disebut rawang. Yang semakin hari semakin menciut karena erosi, pendangkalan hingga pengurukan dan mulai diperjualbelikan oleh beberapa individu kepada individu lainnya hingga mulai marak pendirian bangunan dilahan yang semestinya dikonservasi sebagai badan air.

Makam sesepuh Gelumbang di Talang Manyan. konon bernama Raden Kuning.
Di seberang gobah (Makam) junjungan dusun itu yang (dulunya) terpisah oleh sungai (dan kini sudah menjadi rawa rawa) terdapat satu gobah lagi di tempat bernama Talang anyan yang berisi satu makam yang konon merupakan makam dari Raden Kuning. Beliau juga merupakan salah satu sesepuh pendiri kampung. Beberapa meter dari makam itu juga terdapat makam tanpa nisan tanpa gobah selain berupa gundukan tanah yang diyakini sebagai makam Bujang Juera. Juera dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai Juara, tapi dalam bahasa Belida, Juera (juga) bermakna sebagai Bandit, Pencuri, Jawara, biang kerok. Hanya saja konon beliau dipanggil Bujang Juera karena memang pencapaiannya yang Juara dalam segala hal. Wallohua’lam Bissahawab.

Menyibak sejarah masa lalu yang sudah berlalu berabad abad memang bukanlah hal yang mudah, apalagi bila sumber yang ada hanyalah berasal dari sumber lisan yang disampaika turun temurun layaknya sebuah tutur tinular. Kebanyakan dari hal seperti itu hanya dianggap sebagai sebuah dongeng, legenda hingga mitos belaka. Sementara pembuktian secara ilmiah sudah barang tentu membutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit.***

Monday, July 8, 2013

Once Upon a Time in Gelumbang

Star & Crescent at the top of Migrab Capula Babussalam Mosque, Gelumbang.
Until this moment I am not got any information yet related to when the civilization in this village was begun. Gelumbang is a Village in South Sumatera Province, Indonesia. Folk said, this village starting from a very small village called Talang Gelumai, but nobody knew when it was. I was born and grew up there. When the time has comes, I must left and never thing and never know, when and how I will back some day. Just Go. To find some things better, explore my own life.

From the roof top of the Mosque to the North West.
There’s Masjid Jami’ Babussalam or Babussalam Jame’ Mosque, located in “tengah laman” of Gelumbang. “Tengah Laman” means ‘village center’ or ‘city center’. My Mom was introduced me to this masjid since I am still a cute baby. She said, I got my marhaba in this masjid. Marhaba is our tradition to celebrate new baby born. To hard to count how many time I sleps in my grandpa’s lap when I joint him for Jum’ah prayer in this masjid, together with my father. I spend my childhood in this masjid to learn Alif Ba Ta, an Arabic alphabet as the magic key to read holly Qur’an.

The Old Minaret capoula
No one can speak Arabic in this village at that moment, so we just learning how to read Qur’an as an obligation. I am a lucky boy with very kind of teacher’s in this masjid. Without them may be I can’t read Arabic till today. There’s (alm) Ustadz Arifin,  and Haji Nazori who's spend his life for this masjid. Haji Nazori’s home just stod oppose to this masjid. He’s Head of Masjid Committee since the first time I entering that building. He’s spending not only his time, also his money. Including huge money he got from insurance company for his late lovely Son, who's die in traffic incident. Some people also call this masjid as Masjid Haji Nazori in respect to his dedication.

Hari Raya
1978 I am in 1st class elementary school, when the old masjid structure was turn down to build a new mosque. This new mosque actually never got finishing touch, insist of the biggest structure compare the previous one. All the structure made from cement concrete, the kiblah direction was corrected.

From the roof top of the mosque to the east
The time was running away. When I come back to this masjid, dozen people look at me as stranger persons. Understandable, what I can expect for something I left for more than 17 years. And I am really understand when people around me start to quest “kau ni siapo ?” or “awak ni dari mano ?” in Palembang language insist of “kau ne Hendra, Kan ?” or “Kau ne anak si Jai-Betty, kan ?” in Belida mother tongue. I am the strangers in my own Kampung.

Gathering in Hari Raya Prayer
Everything has change, no more small village, no more place to hunt in the forest just in back yard, no more small rivers with clear and sweet water, no more homogenic indigenous people. Peoples from around the area start to flood this developed village several years ago when the community leader plan to established own residences government.

Facade of the previous Babussalam mosque
Finally in late 2011 the mosque I’ve knew was turn down again. Nothing left from the old structure except of picture of memory in my mind. The new committee decided to build a really ‘brand new’ mosque in anticipate and as preparation to become city center for the future “new residences government area”.***