Showing posts with label mendaki gunung. Show all posts
Showing posts with label mendaki gunung. Show all posts

Saturday, July 25, 2020

Satu Malam Di Puncak Gunung Sanggabuana, Dari Kisah Haru Biru Hingga Buto Ijo Jatuh dari Atap?

Saat senja perlahan jatuh dibalik pepohonan hutan gunung Sanggabuana.

Senja itu berlalu dengan sholat magrib berjamaah di bale bale lega warung Kang Aep, air wudhunya dari sebotol aqua, maklum hujan tak turun berapa hari ini kata Kang Aep jadi tak ada persediaan air, dilanjutkan dengan santap indomie rebus pedas, dan secangkir kopi panas yang sebentar saja sudah jadi kopi dingin karena suhu udara yang mulai bergerak semakin turun.

Secara umum Gunung Sanggabuana lebih dikenal sebagai gunung tempat ziarah dengan berbagai niatan, karena keberadaan makam makam tua di puncaknya. Berbagai kisah mistis, mitos dan legenda memang lekat dengan gunung ini termasuk hubungannya dengan hal hal ghaib.

Bakda sholat isya berjamaah, seorang pendaki mendadak jadi trending topic, malam itu hingga esok paginya. Dia yang dari sore tadi tadi tampak seperti orang bingung sendirian ternyata sedang melarikan diri dari masalah ke puncak gunung ini.

Warung Kang Aep lengkap dengan tiga bale bale besar berukuran besar untuk para pendaki menginap gratis. Jangan lupa belanjanya ke warung nya dong ya.

Kang Aep (pemilik warung) kemudian memanggilnya untuk mengadu ke Pak Ustadz dari Rengasdengklok yang kebetulan sudah sembilan hari ngadem disana. Dan kami menyimak sambil sesekali menimpali obrolan santuy penuh canda tapi serius ituh, pun yang lain nya.

Kisah dimulai dari urusan hutangnya ke teman sendiri yang tak mampu dibayar karena dia sendiri keburu dipecat dari tempat kerjanya dan berujung pada ancam mengamcam sampai ke ancaman pembunuhan.

Tak punya orang tua lagi dan tak punya saudara yang bisa diminta bantuan, ahirnya dia nekad sendirian naik ke puncak Gunung Sanggabuana, katanya untuk ngumpet sampai temannya lupa untuk nagih utang. Alasan yang gak masuk akal, timpal si pak Ustadz.

Sebelah kanan foto adalah warung Kang Aep, kamu bisa baca tulisan di dindingnya. Sedangkan disebelah kiri adalah jejeran bangunan bangunan makam di puncak gunung Sanggabuana.

Dia cukup beruntung malam itu; lagi dalam masalah, gak punya duit,nekad kabur ke puncak gunung, dan bertemu dengan orang yang siap membantu mengatasi masalahnya. Singkat cerita, Pak Ustadz siap membantunya membayar hutangnya dengan satu sarat; temen nya yang nagih utang ajak bertemu dengan beliau.

Tak hanya itu, pak Ustadz itu juga menawarkan pekerjaan untuknya bahkan juga ditawari jodoh bila memang sudah siap untuk nikah. Wah wah wah ternyata pelariannya ke gunung malam itu menuai berkah.

Malam itu terasa berbeda dengan suasana tujuh tahun lalu, tampak lebih gelap karena kurangnya penerangan. Listrik di warung kang Aep berasal dari unit genset yang ditempatkan disebelah mushola, dua warung lainnya sepertinya juga dari sumber yang sama. Penerangan yang minim memberi peluang untuk menikmati cahaya langit yang gemerlap dengan bertaburnya cahaya bintang.

MUSHOLLA. Bangunan pendopo beratap kerucut di sisi timur puncak Sanggabuana itu adalah bangunan Musholla.

Berkeliling sejenak digelap malam di kompleks makam di puncak Gunung Sanggabuana, tampaknya banyak perubahan pada bentuk bentuk bangunannya dan rindangnya pepohonan disana juga tampak berkurang. Di sisi sebelah timur, di area camping ground ada beberapa kelompok pendaki yang menggelar tenda disana.

Sementara aku dan anakku menutup malam itu dengan obrolan tauhid tentang hal ghaib termasuk dunia Jin sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist di bangunan mushola berbentuk pendopo terbuka beratap joglo di ujung timur jejeran bangunan yang ada disana, ditengah gelapnya malam yang perlahan semakin dingin.

Dinihari, Buto Ijo Jatuh Dari Atap?

Rasanya baru terlelap saat aku mendadak terbangun karena kaget oleh suara teramat keras di keheningan malam itu dari arah pintu timur bangunan warung Kang Aep tempat kami menginap. Sontak aku bangun dari tidur dan melihat ke arah pintu yang terpalnya masih tertutup rapi dan tampak nya tidak ada apa apa.

Cuaca cerah di pagi hari di depan pintu timur warung Kang Aep. Ada satu pohon cemara berdiri sejajar dengan pintunya. Warung ini berupa pondokan besar lengkap dengan bale bale yang juga berukuran besar untuk para pendaki menginap. Ada dua pintu akses, di sisi timur dan sisi selatan. Kedua akses pintu itu di malam hari akan di tutup dengan kain terpal yang buat seperti tirai dengan tali pengikat untuk mengurangi terpaan dinginnya angin malam masuk ke dalam pondokan. Kamu bisa liat ada beberapa tong plastik penampung air hujan diletakkan dibawah cucuran atapnya. 

Ruang dalam pondokan memang sudah makin gelap, satu satunya lampu emergency yang menyala sudah redup kehabisan listrik. Aku masih duduk diam mengamati, saat sejurus kemudian terpal penutup pintu itu tersingkap dari luar, seorang pria berperawakan kecil berpakaian serba hitam masuk tergopoh gopoh lalu tersandung di tali terpal bagian bawah dan jatuh, namun buru buru bangun lagi dan dengan wajah dan ekspresi ketakutan dia mendatangi-ku.

Pak tolong pak ada Buto ijo pak!” katanya dengan suara lirih dan agak gemetar.
Saya nggak ngerti yang begitu kang, itu bangunin pak Ustadz aja” sahut ku.
Hanya saja memang hanya aku yang sudah bangun, duduk di bale serta memperhatikan situasi, yang lain tampak asik meringkuk di bawah selimut.

“Bapak aja pak, tolong pak, itu Buto Ijo nya nungguin di depan pintu”. Lanjut nya.
Alih alih langsung bangkit aku malah lanjut bertanya; “tadi bunyi kenceng banget bunyi apa an?”. Dan jawaban dia benar benar menarik . . . “itu pak, buto Ijo nya jatoh dari atap”. 

BUTO IJO ?. Sama sekali tak tampak menakutkan bukan?, itu hanya pohon cemara toh. Entah apa yang merasuki fikiran salah satu pendaki yang sama sama menginap di tempat ini dan dia tidur di bale sebelah kanan foto, sehingga begitu ketakutan dan mengira pohon itu adalah sosok Buto Ijo yang menakutkan.

Aku langsung bangkit dari duduk, menyelempangkan sarung yang kupakai untuk selimut, turun dari bale, pakai sandal, bergegas ke arah pintu, dia mengikuti di belakang. Kusibak terpal penutup pintu dengan tangan kiri dan melihat keluar, tak ada apa apa diluar sana, dibawah penerangan cahaya langit malam yang tampak hanya pohon cemara setinggi bahu orang dewasa yang ditanam di depan warung Kang Aep sejajar dengan pintu.

Mana ?” Tanya-ku. . . . dan masih dengan wajah ketakutan dia melongok keluar . . .
Itu Pak“ .. .katanya sambil menunjuk ke arah pohon cemara itu, tangannya tampak gemetar. .
“Itu kan pohon” sahut ku… sepertinya dia memang benar benar sedang ketakutan, tapi mulai berani.

Meski dengan langkah yang tampak lucu dia melangkah keluar ke arah pohon yang kumaksud lalu menyentuh dengan ujung jarinya, mungkin dia sedang memastikan itu beneran pohon. Sejurus kemudian dia malah lari ngumpet ke balik bangunan di depan warung sambil berucap “aku mau pipis”. Dan aku cuman terpelongo melihat kelakuan-nya.

Burung piaraan Kang Aep.

Aku pun ahirnya ikutan keluar, melihat dan memperhatikan ke atap bangunan tempat kami menginap, tampak jelas sekali tidak ada apa apa disana, tidak ada juga bekas bekas sesuatu berukuran besar jatuh dari atap sehingga menimbulkan suara teramat keras. Pun demikian di area samping dan sekitar bangunan, tidak ada apa apa. Lalu tadi bunyi sebegitu keras bunyi apa an dong?

Rupanya bukan cuman aku yang terbangun, saat aku masuk dan naik kembali ke bale bale, anak ku dan temen nya ternyata juga memperhatikan. “Ada apa an pah” Tanya anak ku. “nggak ada apa apa” sahut-ku. “Itu katanya ada Buto Ijo, Buto artinya besar, Ijo artinya pohon, jadi Buto ijo itu artinya pohon besar” sahut ku melanjutkan. Tak lama berselang, dia yang tadi ketakutan sudah masuk kembali ke pondokan dan melanjutkan tidur.

Saat itu jam di hape anakku menunjukkan pukul 00.27 dinihari. Selang beberapa menit setelah itu hujan pun turun meski sebentar, lumayan lah ada cukup air di dalam tong tong penampung air di bawah cucuran atap pondok, lebih dari cukup untuk berwudhu. Ah sudahlah mungkin semua itu memang sengaja membangunkan ku untuk sholat malam.***

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga


Sunday, July 19, 2020

Senja di Sanggabuana

Jejeran pegunungan Sanggabuana dari depan pondok pesantren Daarul Qur'an di Desa Cinta Asih kecamatan Pangkalan, Karawang.

Cukup lama tak kembali ke tempat ini, dan cukup lama menunggu waktu PSBB yang tak kunjung berahir, namun New Normal ahirnya datang juga dan pihak pengelola disana mengizinkan para pendaki untuk naik ke Gunung Sanggabuana dengan beberapa syarat tambahan dan protokol yang harus dipatuhi.

Cukup banyak yang berubah setelah tujuh tahun berlalu. Jalanan ke desa Mekarbuana kini sudah dicor cukup baik, bahkan beberapa bagian ruas jalan setapak di jalur pendakian sudah di lapis semen hingga melewati tanjakan pertama sampai ke tengah area pesawahan.

Jalan setapak di jalur pendakian yang sudah di cor dengan semen tipis hingga ke tengah pesawahan.

Tujuh tahun lalu, tidak ada pos penarikan retribusi untuk para pendaki ke puncak Sanggabuana, kini sudah ada pos petugas yang mendata dan menarik retribusi bagi para pendaki dengan tariff Rp. 10.000/orang tariff yang sama dengan biaya parkir motor/hari di penitipan motor di rumah warga setempat.

Kamu harus menandatangani surat pernyataan yang intinya menyetuji syarat dan ketentuan yang berlaku dan bahwa kawasan tersebut sebenarnya belum dibuka namun dizinkan masuk dengan tanggungjawan pribadi masing masing dan tidak akan menuntut pihak pengelola bila terjadi sesuatu.

Tebing timur Sanggabuanadari arah jalur pendakian sisi sebelah timur.
Ada beberapa warung baru yang berdiri di sisi jalur pendakian, dan pohon pohon menyan yang dulu merana karena dikuliti untuk diambil getahnya beberapa tampaknya sudah tumbang, beberapa lagi masih berjuang bertahan hidup memperbaiki kambiumnya yang rusak parah.

Ada juga Mushola Al-Ikhlas yang tampak masih gress beberapa meter setelah melewati pertigaan Kebon Jambe, disi kanan jalan, diantara gemericik air sungai kecil yang melintas di depannya. Bersebelahan dengan kebon pisang milik warga.


Menurut penuturan pemilik salah satu warung tempat kami mampir ngopi, sebenarnya pemerintah setempat bahkan sudah berencana untuk membuka jalan raya dari pertigaan di tengah desa melintasi pesawahan hingga ke objek wisata Kebon Jambe, namun rencana itu tertunda akibat dampak dari Covid-19.

Yang paling menarik perhatian adalah adanya beberapa warga setempat yang menggunakan sepeda motor naik cukup jauh hingga ke kawasan perkemahan di pancuran kejayaan, cukup menarik karena medan yang dilalui cukup sulit dan berbahaya, namun sepertinya mereka sudah cukup terbiasa dengan itu.

Matahari senja perlahan jatuh.

Pak Andi, yang mukim di sekitar Makam Emak Paraji Sakti bercerita bahwa para pengendara motor itu adalah warga setempat yang memiliki ladang atau kebon di lereng Gunung Sanggabuana. Di sepanjang jalan menuju puncak hingga sedikit melewati makam Emak Paraji Sakti memang ditemukan pesawahan dan kebun kopi milik warga.

Sedangkan pemilik warung di camping ground pancuran kejayaan berkisah bahwa sepeda sepeda motor yang digunakan warga itu sudah dimodifikasi pada bagian roda giginya hingga memiliki daya tarik yang kuat namun tidak memiliki kecepatan yang baik.

Dan dipastikan sepeda motor itu adalah sepeda motor dengan rantai, porseneling dan kopling bukan sepeda motor matic. Beliau melanjutkan kisahnya yang pernah bermasalah saat menggunakan motor matic melalui rute itu akibat belt nya putus tidak kuat untuk dipaksa terus naik ditanjakan.


Perjalanan mendaki kami kali ini teramat santai, berhenti disetiap tempat yang menarik untuk diamati, dinikmati, di foto, di rekam, termasuk juga berhenti hampir di setiap warung dan rumah penduduk yang kami lewati walau sekedar untuk bertegur sapa. Benar benar santuy pokona mah. Maklum, aslinya memang dah gg sanggup untuk ngebut. Kamu bisa nikmati suasana hutan sanggabuana direkaman yang sudah kami simpan di youtube.

Jelang matahari terbenam kami baru sampai di makam Jagaraksa, perhentian terahir sebelum tiba di puncak dua. Dan tiba di puncak bertepatan dengan waktu magrib. Di sepanjang perjalanan hingga sampai ke puncak tak kunjung jua mendapatkan titik yang pas untuk memotret merekahnya matahari terbenam. Tak apalah setidaknya ada peluang untuk menikmati matahari terbit besok pagi.***

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga


Friday, May 17, 2013

Unique Spot At Sanggabuana

Komplek Makam di atas Awan

Beberapa pendaki menggelari puncak gunung Sanggabuana di perbatasan Kabupaten Karawang, Purwakarta dan Cianjur ini Sebagai KOMPLEK MAKAM DI ATAS AWAN karena puncaknya yang dipenuhi oleh jejeran makam makam tua. Bagi sebagian orang makam makam itu dianggap sebagai makam keramat. Berikut beberapa foto foto dari lokasi tersebut.

KUBURAN PANJANG. Beberapa pendaki menyebut puncak gunung Sanggabuana sebagai kuburan diatas awan. Di puncak gunung ini memang terdapat sederet makam makam tua, diantaranya makam yang satu ini yang memiliki ukuran panjang tidak lazim, karena terlalu panjang untuk ukuan orang biasa.

UYUT PANJANG. Begitu nama yang tertulis di nisan Kuburan Panjang ini. Konon nama itu adalah nama alias dari Sri Paduka Maharaja. Siapa Dia ?
SARITEM. ada kaitannya dengan Saritem di Kota Bandung ? Masak iya sih.
KUBURAN DI ATAS AWAN. sebutan itu ada benarnya juga. Silahkan buka google earth atau google map ketikkan  6°35'26.94"S 107°13'0.83"E dan anada akan temukan pemandangan itu. 
BEGITU BANYAK JIWA. 
KUBURAN JUGA KAH ?. Diresmikan, Aldi, Sunaryo, Buana. Mungkin orang iseng menulis nama mereka di batu ini atau mungkin itu nama orang orang yang dulu membangun pemakaman ini atau mungkin itu tadinya memang nisan tanpa nama ?
TANPA NAMA
WARKOP DI TENGAH HUTAN GUNUNG. agak aneh tapi nyata. beruntung ada warung ditempat terpencil seperti ini, ada tempat ngaso sementara, sambil nyeruput kopi panas dan semangkuk mie instan panas, meski bila malam hari gelap gulita.
PENDAKI NYEKER ?. Bukan, mereka adalah para peziarah yang sengaja mendaki gunung Sanggabuana untuk berziarah. beberapa dari mereka mengaku memiliki pertalian dengan yang bermakam di puncak gunung ini.
POHON KEMENYAN YANG MATI MERANA. di gunung ini jangan kaget bila tiba tiba mencium semerbak bau kemenyan karena memang bertebaran pohon pohon kemenyan tua seperti ini, yang sebagian darinya sudah mati berdiri karena dikupas kambiumnya oleh para penjarah tak bertanggungjawab yang mengambil getahnya untuk dijual sebagai kemenyan.
TAK ADA KATA TERLALU TUA UNTUK MENDAKI. beliau salah satu para "pencari ilmu" yang sengaja berziarah ke puncak Sanggabuana untuk menemukan ketenangan bathin.
INI APA ? lokasinya pas di depan makam Langlangbuana.
-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga


Wednesday, May 15, 2013

Gunung Sanggabuana

Sangga Buana, ada sederet pemakaman tua di puncaknya
Gunung Sanggabuna (1291 Meter Dari Permukaan Laut – MDPL) adalah gunung tertinggi dan satu satunya gunung yang ada di dalam wilayah Karawang. Satu gunung dengan dua identitas yang sangat kental. Bagi paramiliter gunung ini dikenal sebagai kawah candradimuka pelatihan perang gunung. Sedangkan bagi paranormal dikenal sebagai salah satu tempat semadi melanglangbuana di dunia bathin.

Namun, bagi para pendaki gunung pro bisa jadi gunung ini hanyalah tempat plesiran atau sekedar persinggahan. Karena memang tak masuk dalam daftar gunung paforit untuk di daki oleh para pendaki. Tak perlu repot repot untuk bawa tenda naik ke puncak gunung ini kecuali bila memang dengan sengaja untuk tidak melalui jalur pendakian normal.


View puncak gunung sanggabuana in a larger map

Jalur pendakian ke gunung ini biasanya melalui dua jalur yang sudah umum dikenal. Yakni melalui jalur Cariu Kabupaten Bogor dan Melalui Rute Cigentis di Kabupaten Karawang. Jalur pendakian dari Cariu memang lebih singkat dibandingkan dengan jalur dari Karawang namun dengan tingkat kecuraman yang relative sama.

Mendaki ke gunung Sanggabuana bagi para pemula atau bagi mereka yang baru memulai lagi mendaki gunung setelah sekian belas tahun gantung sepatu sepertiku memang bukanlah hal yang mudah. Medan yang curam yang harus dilalui mencapai 80% dari keseluruhan jalur pendakian dari arah Karawang. 

medan yang dilalui memang cukup berat. seluruh tenaga terkuras saat mendaki dengan seluruh badan lemes lunglai. turunnya bikin dengkul dan baha nyeri karena menahan berat badan menuruni turunan terjal terus menerus.
Beberapa titik bahkan tidak lagi dapat disebut mendaki tapi memanjat karena medannya yang tegak lurus hingga harus berpegangan ke akar akar pohon yang malang melintang. Sebagian besar rute yang dilalui adalah laluan air hujan, jadi harus sangat hati hati saat melakukan pendakian dikala hujan atau setelah hujan, karena rute yang sangat licin.

Mendaki dari arah Karawang, kita akan melewati beberapa sungai sungai kecil alami dengan airnya yang jernih dan sejuk, sangat menggoda untuk sekedar berhenti sejenak, cuci muka atau bahkan untuk minum airnya yang jernih itu. Ada beberapa warung di sepanjang rute pendakian yang buka 24 jam meski tidak semuanya beroperasi setiap hari.

pendakian ke Sanggabuna tidak hanya dilakukan oleh anak anak muda, Pak tua satu ini bergabung dengan kami saat turun dari sana. lumayan katanya, biar punya temen yang jalannya sama sama alon alon asal klakon.
Dari tiga warung persinggahan yang kami lewati semuanya berada tak jauh dari sumber air berupa aliran sungai lengkap dengan pancurannya. Sekitar setengah perjalanan dari arah karawang kita akan berjumpa dengan satu komplek makam tua yang disebut sebut sebagai makam Langlangbuana. Makam Langlangbuana berada di bawah rimbun beberapa pohon yang tinggi besar menjulang. Ada beberapa pondokan disini bisa dijadikan tempat singgah istirahat sebentar. Hanya beberapa meter dari pondokan ada pancuran yang terkenal dengan nama pancuran air mata ibu.

Di warung terahir sebelum mencapai puncak gunung Sanggabuana, butuh sedikit perjuangan untuk mencapai sumber airnya yang disebut pancuran emas, dengan menuruni jurang dibelakang warung tersebut. Leluasa untuk mandi disini meski harus ekstra hati hati karena aliran airnya yang sangat deras dari ketinggian, ditambah lagi di sebelah hilirnya hanya berapa meter aliran airnya membentuk jeram yang menimbulkan suara gemuruh cukup keras.

gunung langseng begitu urang sunda menyebut gunung lancip sebelah kanan itu karena bentuknya yang memang mirip dengan alat pengukus nasi tersebut. 
Setengah dua belas malam lewat beberapa menit kami baru tiba di puncak gunung ini. sangat lambat untuk ukuran mereka yang sudah biasa mendaki, bahkan jauh lebih lambat dibandingkan dengan dua pendaki yang salah satunya sudah sangat sepuh (alias sudah aki aki ) yang menyalib kami saat separuh perjalanan.

Tak percuma perjuangan hanya bermodal semangat pantang menyerah ahirnya sampai juga. Si Kakek dengan hangat menyambutku ketika aku tiba di puncak, beliau sudah dengan santai menyantap kambing bakar bersama sekelompok pendaki lainnya di salah satu pondokan disana. Wuah.

hutan hujan tropis yang masih terawat di gunung sanggabuana
Hutan gunung Sanggabuana masih cukup terawat. Di hutan gunung ini kita masih dapat menikmati pepohonan yang tumbuh liar hingga mencapai ketinggian puluhan meter berjejer disana. Bahkan pepohonan sebesar truk yang bila kita berdiri di pangkal pohonnya akan terlihat sangat kecil dibandingkan pohonnya, masih bisa ditemui disini.

Sayangnya kawasan hutan ini belum masuk katagori sebagai kawasan hutan yang dilindungi. Di bulan September 2012 yang lalu camat Tegal Waru Meminta Sanggabuana dijadikan Hutan Lindung kepada Perhutani. Agar status kawasan hutan gunung Sanggabuana yang selama ini masuk dalam katagori hutan produksi di ubah menjadi hutan lindung untuk mencegah meluasnya kerusakan hutan di Karawang Selatan.

Mendaki gunung memang sangat melelahkan. Namun terbayar dengan pengalaman yang diperoleh selama dan sesudahnya. Pemandangan indah sepanjang perjalanan hanya salah satu hal yang dapat langsung dinikmati sebagai pengobatnya, namun lebih dari itu kita diberikan kesadaran bahwa “semakin tinggi kita berada semakin lebar sudut pandang yang kita peroleh”, atau bila di balik “bila menginginkan sudut pandang yang lebih luas, naiklah lebih tinggi” begitu juga dengan kehidupan kita.***