G#&@R... |
Lima belas hari berada di kampung halaman di kelurahan
Gelumbang, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, sudah seperti
berada di kampung orang lain bersama dengan begitu banyak teman satu etnis dan
bahasa, maklum kampung ku yang kukenal dulu sudah berubah, lebih dari setengah
penduduknya (sudah) tak mengenalku dan tak kukenal karena memang merupakan para
pendatang dari berbagai daerah yang berangsur mengubah landskap kampung ku yang
sunyi ketika kutinggalkan di awal 90-an.
Waktu telah mengubah begitu banyak hal, bangunan pertokoan
mulai menyesaki tiap tepian ruas jalan. Lahan perkebunan karet yang dari dulu
hingga kini masih menjadi primadona mata pencaharian sebagian penduduknya, perlahan
tapi pasti semakin jauh bergeser dari pemukiman. Lahan kosong perlahan tapi
pasti mulai (segera) menjadi barang langka.
Tapi satu hal yang tak berubah sejak kutinggalkan dulu, apa
an tuh ? itu loh urusan penerangan alias pasokan listrik yang tetap saja habis
gelap terbitlah terang, lalu gelap lagi, terang lagi, gelap lagi alias byar pet,
mati idup mati, nyala padam tak kenal waktu, sesukanya atau dalam bahasa
setempat disebutnya “mati lampu tak keroan rutu”.
Ternyata kalimat putus asa atas sebuah perubahan ke arah
lebih baik yang seringkali terucapkan dalam nada galaw “nyatanya banyak hal yang memang seakan
enggan berubah” itu berlaku untuk layanan publik yang satu ini di kampung
halamanku.
Masyarakat disana pun terkesan apatis, entah karena memang sudah
membuka ruang permakluman yang teramat luas tanpa batas bagi layanan sangat tak
memuaskan itu atau karena memang sudah terlalu capek komplain sana sini tanpa
perbaikan berarti atau “jangan jangan” karena terlalu takut bersuara hingga
nrima saja, entahlah.
Beberapa rumah tangga dan pelaku usaha lebih memilih mencari
solusi sendiri dengan memasang generator listrik sebagai sumber pasokan listrik
alternatif, yang lainnya pasrah dengan nyala lilin dan penerangan tradisional
lainnya. Beberapa lainnya berkomentar
seadanya ketika diajak bicara perkara tersebut. Seakan terlalu rumit untuk
sekedar menyampaikan uneg uneg kekecewaan atas layanan tak becus itu.
Lima belas hari di kampung halaman tak pernah sehari pun
luput dari padam listrik, tanpa kenal waktu, dan tak seharipun yang luput dari
padam lalu nyala lagi berkali kali. Bisa anda bayangkan bila satu dari tiga jagoan
dan keponakan kecil ku yang kuantar berbarengan ke tukang cukur beberapa hari
jelang lebaran terpaksa mengeluh panjang pendek karena dipaksa “menikmati
sementara” kepala berambut separo” akibat pasokan listrik yang mendadak
terhenti saat proses pangkas rambut berlangsung.
Itu kisah keponakanku, dan ahirnya akupun mengalami hal yang
sama harus menyelesaikan pangkas rambut dengan bantuan penerangan cahaya senter
di malam hari karena generatornya yang tak siap menyala sementara rambutku
sudah terpangkas separoh saat listrik padam mendadak. Jiahahahahh, sebuah
pengalaman yang benar benar unik mengingat listriknya baru menyala lagi berjam
jam setelah aku selesai mandi.
Dan yang paling menyesakkan banyak orang, tatkala listrik
pun tak kunjung menyala dari sore hingga lewat tengah malam di malam hari hari
raya idul fitri, tak pelak lagi, masjid jamik Babussalam dan langgar (mushola)
yang pasokan listriknya hanya mengandalkan PLN itu sunyi senyap dan bisu dari
gempita gema takbir dan tentu saja gelap gulita.
Listrik memang memiliki kisah panjang di kampung halamanku
itu. Listrik masuk kesana seakan tanpa angan angan. Di awal tahun 80-an listrik
telah mengalir kesana tapi bukan dari PLN tapi dari pembangkit listrik
sederhana milik pribadi yang kemudian ditawarkan kepada beberapa penduduk
kampung hanya untuk penerangan di malam hari. Sampai kemudian waktu kampanye
pemiliu tiba, iming iming pasokan tenaga “listrik seperti di kota” pun
berhembus dari caleg partai penguasa saat itu.
Dan benar saja ketika pemilu usai proyek pemasangan tiang
listrik benar benar digelar tapi “hanya di
2 dari 3 kampung” yang ada disana. Tiang listrik dipancangkan mulai dari kantor
PLN tak jauh dari kantor camat Gelumbang (kini menjadi kantor lurah Gelumbang)
yang masuk wilayah kampung satu alias kampung laut bagian hulu hingga ke depan
pejEratan (komplek pemakaman) di hilir, lalu membentang juga di sepanjang ruas
jalan Kampung Dua alias di Kampung Derat, hingga ke tepian rel kereta api di
kampung Tiga alias Kampung Kalangan tapi tidak masuk ke Kampung Kalangannya
lho.
Loh kok tidak masuk hingga ke kampung Kalangan sih ?. itu
pertanyaanku kala itu yang masih anak anak menjelang remaja. Konon itu terjadi
karena masyarakat Kampung Kalangan “tidak pro” Partai Pemerintah dalam pemilu
yang baru lalu. Karena memang janji pasokan listrik di berikan bila “partai
pemerintah” menang dan paska pemilu usai ternyata Partai Pemerintah hanya
menang di Kampung Laut dan Kampung Derat, sedangkan di Kampung Kalangan partai
itu mengalami kekalahan telak. Seingatku memang kala itu kampung Kalangan
merupakan wilayah hijau royo royo, wajarlah bila masyarakat disanapun memilih
warna yang sama dari tiga warna yang ada saat nyoblos.
Lagi lagi seingatku, tiang yang dipancang tidak langsung
digandoli dua helai kabel telanjang, cukup lama menganggur setelah dipancangkan
dan pasokan listrik benar benar mengalir ke rumah rumah penduduk paska
kemenangan pemilu berikutnya saat saya sudah duduk dibangku Sekolah Menengah
Pertama Negeri Nomor Satu Gelumbang dan dengan penuh semangat membantu Bapak-ku
menambah instalasi listrik di dalam rumah karena pihak PLN hanya memasang tiga
titik lampu listrik untuk setiap rumah tangga.
Memang riang gembira dengan adanya listrik, malam hari
terasa lebih berdenyut karena tak lagi terlalu seram meski di belakang rumah dan
sebagian besar wilayah sekitar kampung masih berupa kebun kosong yang menghutan
hingga hutan lebat tak bermanusia. Judul
buku nya R.A Kartini “Habis gelap terbitlah terang” benar benar terasa harpiah
di kampungku kala itu. Akupun sudah tak
ingat lagi apakah Bapak-ku waktu itu membayar atau tidak untuk proses
penyambungan kabel listriknya ke rumah dari tiang nya yang dipancangkan bukan
di sisi jalan raya tak bertrotoar itu, tapi “se-enaknya” ditancapkan di dalam
pagar halaman.
Yang pasti, pasokan listrik hanya di alirkan pada malam hari
sejak jelang magrib hingga bakda subuh jelang terbit matahari. Lumayanlah.
Warga di dua kampung juga merelakan pohon pohon buah milik mereka dipangkas
hingga di tebang demi “membentang” kabel listrik, mereka juga “rela” pekarangan
mereka di sisi jalan raya ditancapi tiang listrik tanpa harus dibayar.
Masyarakatnya juga sudah sangat senang dengan pasokan
listrik dari generator PLN dan kadangkala juga padam karena rusak atau sedang
berganti pembangkit dari generator yang satu ke generator berikutnya. Sangat
jarang terdengar keluhan ketika listrik padam dengan kode dua atau tiga kali
kedipan meski mereka sedang asik nontong bareng tivi tetangga yang sengaja
diletakkan di jendela yang terbuka untuk ditonton bersama. Paling paling
terdengar komentar “ai PLN dang nak ngisik minyak”.
Ketika jaringan yang dipasang semakin meluas hingga ke
kampung tetangga, intensitas padamnya pasokan secara mendadak mulai semakin
intens karena jaringan kabel yang ditimpa dahan pohon yang tumbang atau patah
akibat hembusan angin dan hujan, karena gensetnya rusak, sampai kemudian
mulailah muncul istilah PLTU alias Perusahaan Listrik Takut Ujan, karena tiap
kali hujan deras tiba dipastikan aliran listrik akan bermasalah. Awal tahun
90-an kutinggalkan kampung halamanku dan tak rutin kembali kesana. Nyatanya hingga
tahun 2013 ini tradisi mati lampu itu masih mentradisi. Wueleh weleh.
Bila dulu listrik masuk ke kampungku “dibawa” oleh para
caleg partai penguasa yang semuanya adalah para tetua dan tokoh kampung yang
seumur atau lebih tua dari bapak ku. Kini para Caleg dan Aleg nya adalah mereka
yang segenerasi denganku, termasuk teman sekelas hingga “isi rumah” sendiri.
Tapi sepertinya issue “mati lampu” terlalu receh untuk menjadi topik obrolan
apalagi untuk ditawarkan, mungkin karena masalah itu memang ngeri ngeri sedap atau
memang tak ada sedapnya sama sekali. Uentahlah.
Yang pasti nih ye, ketika listrik padam, bukan orang kere
dan rakyat jelata yang mungkin terlalu takut bersuara saja yang kena dampaknya
tapi mereka yang terpilih menjadi pelindung, pengayom, wakil, hingga tokoh dan pemimpin masyarakat pun terkena
dampaknya, jadi jangan bilang isu itu tak tertangani atau belum sempat ditangai
atau belum sempat ditindaklanjuti karena mereka yang selayak tahu belum
mengetahui hal itu selama belasan tahun adalah sesuatu yang teramat mustahil.
Atau mungkin sudah sama sama tahu jadi memutuskan mari sama sama nrimo dan
nikmati saja. Wallohua’lam.
-----------------------------------
Follow
akun instagram kami di @masjidinfo
| @masjidinfo.id
| @hendrajailani
------------------------------------
Baca Juga
No comments:
Post a Comment