Bunga Edelweis di Pondok Salada, Gunung Papandayan - Jawa Barat. |
Dulu ketika pertama kali sampai
di gunung papandayan dan pertama kali menemukan bunga yang disebut Edelweiss
itu, expressi ku luar biasa takjub, bukan karena indahnya tapi justru karena
tiada yang istimewa dari tampilanya. Hanya seonggok bunga kecil berwarna putih
tanpa bau semerbak harum, tanpa kelopak yang luar biasa menarik dan tak
memiliki secuil rupapun yang bisa menjadikannya sebagai setangkai bunga yang
layak diperjuangkan.
Hanya aroma kesegaran yang
terendus dengan nyata di hidung dan seliweran kumbang kumbang kecil yang
singgah dari satu kumpulan bunga bunga mungil ini ke kumpulan bunga berikutnya.
Aku sendiri bahkan sedikit kecewa dengan tampilannya ketika itu. Exiting yang
menggebu pada awalnya untuk sekedar tahu seperti apa gerangan bunga yang
menjadi perbincangan para “pujangga cinta picicisan” hingga “roman cinta
beneran” itu, berahir biasa biasa saja. Pohonnya pun bukanlah pepohonan besar
nan perkasa, tak lebih dari sekedar perdu di pegunungan. Lagipula mana ada
pepohonan kekar nan menjulang di ketinggian sana.
Namun seketika itu juga
disadarkan oleh sebuah kesadaran bahwa tak perlu menjelma sebagai sesuatu yang
luar biasa untuk menjadi luar biasa. Kebelakaan dan apa adanya dalam ketulusan
dan kejujuran kadangkala justru menjadi sesuatu yang luar biasa. Seperti halnya jujur yang seakan sudah menjadi
bunga yang tak tumbuh di setiap kebun, pribadi yang berani jujur di jaman yang
serba tak jujur ini mendadak menjadi pribadi yang biasa. Seperti pribadi yang
berani tampil apa adanya tanpa rekayasa untuk polesan ke ja’iman untuk menjaga
citra kesempurnaan diri pun akan menjelma menjadi sesuatu yang luar biasa di
tengah dunia yang penuh dengan sandiwara dan rekayasa ini.
Letih jiwa kadang terobati ketika
kita memberanikan diri untuk bersikap apa adanya dalam ketulusan dan kejujuran.
Beramal shaleh pun terasa ringan ketika kita mengabaikan segala bentuk
pencitraan untuk sekedar mendapatkan pujian dari sesama. Selembar seribu rupiah
terkadang terasa berharga untuk disedekahkan ketika hati dipenuhi dengan
sakwasangka, tapi seratus ribupun terasa ringan untuk disumbangkan ketika kita
merendahkan hati dalam ketulusan tanpa pamrih untuk memberi dan meringankan
penderitaan orang lain.
Wajarlah bila hingga detik inipun
tak seorangpun mampu mendeskripsikan dengan gamblang dan masuk akal tentang
sebuah kenyataan “mengapa dulu anda jatuh cinta pada pasangan hidup anda saat
ini?”. atau mengapa anda jatuh cinta pada profesi anda ?. mengapa anda memilih
berpayah payah datang ke kota suci Mekah Al-Mukarromah untuk berhaji hanya
karena kecintaan anda kepada Alloh dan Rosulnya ?. padahal hingga kini pun tak seorang jua yang
mampu menjelaskan cinta dalam kalimat sederhana yang dapat dicerna oleh akal
sehat manapun.
Cinta yang membuat anda naik
pitam ketika agama anda dihina, cinta pula yang membuat anda rela menghabiskan
waktu berhari hari untuk bergotong royong membangung masjid padahal anda
sendiri seumur hidup belum pernah faham cara menggunakan centong semen, cinta
juga yang membuat seorang ayah rela berpeluh berjuang menahan hati yang sakit
dalam makian sang majikan demi menafkahi keluarganya, cinta juga yang membuat
seorang istri dengan tulus hari rela pergi keluar negeri untuk mencari rejeki.
Ketika kita bicara cinta, nurani yang tuluslah yang berbicara. Kepolosan dan
kejujuranlah yang mengemuka.
Seperti edelweiss yang tampil apa
adanya, menghadirkan dirinya dalam kebelakaan tanpa tindakan pencitraan. Hati
yang tulus jua yang pada ahirnya menemukan kebesaran makna dirinya. Diri yang
rela istiqomah dalam hidup. Sekali berarti sudah itu mati. Tak ada kata redup
dan kuncup kembali. Sekali layar terkembang pantang surut ke pantai. Seperti
edelweiss juga yang sekali mekar tak kan pernah kuncup kembali. Waktu lah yang
pada ahirnya membuat setiap kuntumnya mongering, usang, gugur lalu sirna
tertiup angin.
Seperti kecintaan ayah dan bunda
kepada putra putrinya yang tak kan lekang termakan jaman. Hanya waktu yang
ahirnya memisahkan. seperti cinta rosul
pada ummatnya yang tak kenal sakwasangka selain kerelaan dan ketulusan tak
berbatas. Seperti Tuhan yang “mengasihi” setiap hambanya tanpa peduli seberapa
patuh dan ingkarnya masing masing hambanya.
Edelweiss yang bersahaja itu
memberikan makna akan sebuah ketulusan tanpa pamrih. Kebelakaan dalam
ketulusanlah yang membuatnya melegenda dalam bentuknya yang tak seindah mawar
dan tak seharum melati.
Tersisa sebuah pertanyaan kecil
kini. Mampukah kita mencintai sang pencipta dengan kerelaan mencintai DIA yang
senantiasa memberi meski senantiasa kita ingkari ?. Mampukah kita mencintai DIA
meski kita senantiasa berpaling muka dari NYA. Mencintai DIA dengan segala
kerelaan, kebelakaan dan ketulusan dalam keihklasan, agar kita menjadi pribadi
pribadi yang layak DIA cintai ?. Seperti edelweiss yang tampil apa adanya tapi
begitu dicintai oleh para pecinta ?.
Ah ternyata seindah apapun cinta
mu dan cinta kita padanya masih jauh lebih indah cinta NYA kepadamu. Kita
bahkan tak lebih indah dari serangkai bunga edelweiss yang tak indah itu. Lalu
nikmat Tuhanmu yang manakah lagi yang hendak kau dustakan.***
-----------
Dulunya artikel ini kutulis untuk membantu putri pertamaku yg
masih duduk di kelas 7 SMP negeri dan mengerjakan PE ER nya, lalu ku posting di multiply.com tapi kemudian
layanan blog di situs itu di tutup.
-----------------------------------
Follow
akun instagram kami di @masjidinfo
| @masjidinfo.id
| @hendrajailani
------------------------------------
Baca Juga
No comments:
Post a Comment