Showing posts with label bahasa bunga. Show all posts
Showing posts with label bahasa bunga. Show all posts

Wednesday, October 21, 2015

Katakan Cinta Dengan Bunga Kenanga

Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kalimat "katakan dengan bunga". bisa jadi anda membayangkan seperti adegan filem atau sinetron yang berkaitan dengan adegan romantis, rangkaian bunga atau bahkan hanya setangkai mawar. Kenapa harus mawar ?. Bagaimana bila diganti saja dengan setangkai kembang kenanga. Katakan cintamu dengan kenanga. Bisa jadi kisah romantisnya bubar.

Tiap bunga memiliki ke -khas-an nya sendiri sendiri temasuk Kenanga. pernah tau kenapa bunga harum satu ini namanya kenanga?. Saya juga tidak tau pasti. Di Indonesia bunga kenanga banyak dipakai dalam berbagai prosesi adat terutama yang berhubungan dengan pernikahan. lalu kenapa jadi aneh pada saat "katakan dengan bunga" tadi itu menggunakan kenanga sebagai bunganya ya?. Mungkin karena kenanga juga dipakai sebagai bunga tabur pada saat ziarah kubur, hingga aroma bunga ini kadang bikin merinding sebagian orang.

Kenanga merupakan salah satu flora asli Indonesia. Bunga ini menjadi bunga identitas propinsi Sumatera Utara. Nama Latinnya Cananga Odorata terdiri dari tiga jenis yakni kenanga yakni Kenanga Biasa (Cananga Odorata Macrophylla) yang merupakan asli Indonesia, lalu ada Kenanga Genuin atau kenangan filipina atau kenanga ylang-ylang (Cananga Odorata genuina) dan Kenanga Perdu (Cananga Odorata Fruticosa).

Pohon Kenanga biasa bisa tumbuh hingga setinggi 12 meter, kayunya keras dan cocok untuk bahan peredam suara. Kenanga filipina juga merupakan pohon namun tidak setinggi pohon kenanga biasa sedangkan kenanga perdu adalah kenanga yang sering ditanam di pekarangan rumah, paling tinggi bisa mencapai ketinggian tiga meter.

Selain di Indonesia dan Filipina sebagai daerah asal-nya. Kenanga juga banyak ditanam di Polinesia, Melanesia dan Mikronesia. tiga negara kepulauan yang berada di Samudera Pasifik selatan. Bunga kenanga termasuk jenis bunga yang menggantung dengan aromanya yang harum dan segar.

Dalam kebudayaan Jawa, kehadiran bunga Kenanga di dalam taman dapat menjadi penangkal ilmu hitam, guna-guna dan sejenisnya untuk melindungi rumah beserta isinya. Ada juga yang mempercayai bahwa dengan menanam pohon ini di taman, akan enteng jodoh bagi anggota keluarga yang belum berkeluarga.

Untuk perawatan tubuh, bunga ini digunakan sebagai pewangi pada rambut dan seluruh tubuh dengan sari minyak yang di ekstrak dari bunganya. Bunga kengana dapat berfungsi sebagai obat penyembuh penyakit malaria, asma/sesak nafas, bronchitis dan minuman menyehatkan (jamu) saat setelah melahirkan, dengan menyeduh bunga yang sudah dikeringkan atau direbus beserta beberapa jenis bahan lainnya, lalu kemudian diminum dalam jangka waktu tertentu.

Makna Kenanga

Meski tak tau persis asal muasal nama bunga ini, namun Kenanga itu memang sangat dekat dengan kata Kenang atau Kenangan. Wajar bila bunga ini selalu dipakai dalam berbagai prosesi penting termasuk pernikahan, selamatan / syukuran kehamilan, syukuran kelahiran, khitanan, pernikahan hingga kematian. Dia dihadirkan dalam berbagai momen penting yang layak untuk dikenang. Seorang pria dewasa yang sudah menikah lumrahnya senantiasa akan teringat dan mengingat ingat saat kelahirannya, saat di khitan, saat pernikahannya dan senantiasa ingat bahwa tiba saatnya kematian akan menjemput.

Leluhur kita sepertinya sangat faham dengan kalimat “katakan dengan bunga” yang popular di kebudayaan Eropa itu, atau jangan jangan justru Eropa lah yang menjiplak kebudayaan luhur warisan nenek moyang kita. Kenanga itu seakan menyimpan dan menyampaikan pesan dari leluhur kita untuk senantiasa mengenang momen momen penting dalam hidup kita. Untuk jangan sekali kali melupakan sejarah. sebagai pelajaran untuk kehidupan mendatang.

kenanga seakan selalu mengingatkan kita untuk tidak lupa diri bahwa hidup Apapun yang kita lakukan saat ini sedekit kemudian sudah menjadi kenangan. Sehingga kita harus senantiasa ingat dan waspada ketika sehat sebelum sakit, ketika muda sebelum tua, ketika kaya sebelum miskin, ketika lapang sebelum sempit dan bahwa hidup di dunia ini tidaklah abadi.

------------------------------------------

Baca Juga



Monday, August 18, 2014

Bungong Jeumpa

Cempaka / kantil / Jeumpa

Dalam bahasa Aceh Jeumpa bermakna Cempaka yang merupakan nama bunga dan juga nama lain dari Negeri Campa. Negeri Campa dikenal secara luas sebagai sebuah Negara dalam bentuk kerajaan pertama di kawasan Indocina dan asia tenggara. Sekaligus sebagai Negara Islam pertama di kawasan terebut.

Di tanah aceh pernah berdiri sebuah kesultanan dengan nama Jeumpa. Ibukota kerajaan berada di lokasi yang kini dikenal sebagai desa Blang Sepeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireun, propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Meski sejarah keberadaan kesultanan ini terbagi dalam beberapa versi namun semuanya merujuk kepada satu kesimpulan yang sama bahwa di Aceh memang pernah ada kesultanan bernama Kesultanan Jeumpa.

Berdasarkan hasil penelusuran sejarah oleh sejarawan Aceh M Adli bersama TV Al-Hijrah (Malaysia) Kekalahan Campa menghadapi serbuan cina (atau mungkin yang dimaksud adalah serbuan Dai Viet) membuat sebagian besar rakyat dan Raja Campa mengungsi ke wilayah Kesultanan Samudera Pasai.

Pasai menerima kedatangan mereka dengan tangan terbuka dan mengizinkan mereka membentuk komunitas termasuk membentuk pemerintahan sendiri, orang Aceh kemudian menyebut nya dengan Kesultanan Jeumpa. Dimasa kini mungkin setara dengan pemerintahan propinsi, di dalam wilayah Kesultanan Samudera Pasai.

Kecantikan gadis gadis jeumpa ini yang (konon) menginspirasi pemuda pemuda aceh memuji ataupun merayu mereka dengan kidung “bungong jeumpa, bungong jeumpa, mekar di aceh……dan seterusnya’ yang arti harpiahnya “Bungong jeumpa, bungong jeumpa meugah di Acèh. . . . . . . .” dan pujian itu sepertinya bukanlah pujian kosong dari bujang yang sedang kasmaran pada bunga desa Jeumpa yang kecantikannya tidak saja kecantikan fisik semata tapi juga cantik pula ruhani-nya.

Menelusur perjalanan sejarah, kita memang akan menemui begitu banyak keterkaitan sejarah Negeri tercinta ini dengan Campa. Sejarah para wali songo, majapahit, Palembang, Pajajaran, Demak, Cirebon dan masih banyak lagi. Di tanah Jawa saja kita akan menemui begitu banyak situs sejarah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “makam / maqom putri cempo”, cempo yang dimaksud adalah campa.

Salah satu istri Prabu Brawijaya V dari Majapahit adalah seorang muslimah Campa yang setelah menjadi istri Sang Prabu, menetap di Palembang dimasa pemerintahan adipati Ario Damar, meski banyak juga pendapat yang menyatakan bahwa istri Prabu Brawijaya V ini berasal dari daratan Tiongkok. Dari bungong Jeumpa ini lahir putra Brawijaya yang dikemudian hari dikenal dengan nama Raden Fatah.

Dengan sokongan penuh dari para wali, Raden Fatah kemudian mendirikan Kesultanan Demak yang menandai berahirnya sejarah Majapahit. Sepanjang hayat nya putri cempo “menemani” putranya berdakwah hingga ahir hayatnya, beliau wafat dan dimakamkan di dekat pasujudan Sunan Bonang di desa Bonang Lasem.

Putri cempo yang menjadi istri Prabu Brawijaya ini memang dikisahkan dalam banyak versi namun memiliki benang merah yang sama. Yakni bahwa beliau memiliki keterkaitan dengan Sunan Bonang, Sunan Ampel, Prabu Brawijaya V, Adipati Ario Damar dan Raden Fatah.

Bungong Jeumpa juga mewarnai sejarah di bagian barat pulau Jawa. Dari pernikahan Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang, santriwati pondok Quro – Karawang yang dibina oleh Shekh Hasanudin. Lahir putra pertamanya yang bernama Raden Walangsungsang atau lebih dikenal dengan Pangeran Cakrabuana. Dalam perjalanan pulangnya dari ibadah haji, Pangeran Cakrabuana singgah untuk berguru agama di Campa. disana beliau berguru kepada Syekh Ibrahim Akbar yang di Jawa disebut Sekh Jatiswara, dan kemudian memperisitri Nyai Retna Rasajati (Nyai Gedeng Kalisapu), putri Sekh Jatiswara.

Pangeran Cakrabuana dikenal sebagai pendiri Cirebon dengan gelar Sri Mangana, kekuasaanya di Cirebon kemudian diserahkan ke Keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah, dikemudian hari dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Salah satu Istri Sunan Gunung Jati yang bernama Putri Ong Tien yang kemudian berganti nama menjadi Nyi Ratu Rara Semanding, juga berasal dari Campa.

Adik bungsu Pangeran Cakrabuana, bernama Raja Sagara atau lebih dikenal dengan nama Kiang Santang, dikemudian hari menyusul kakaknya ke Cirebon. Setelah menunaikan Ibadah Haji berganti nama menjadi Haji Mansur. Seperti abangnya Haji Mansur juga singgah di Campa dan juga menikah dengan seorang putri Campa bernama Nyai Kalimah.

kuncup kantil 

Beberapa kisah diatas tentunya tidak selengkap dan sebenar aslinya. Negeri campa memang sudah lama sekali hilang dari peta bumi sejak Negara itu runtuh. Bekas wilayah Negara ini membentang dibagian tengah hingga ke selatan di wilayah yang kini dikenal sebagai Negara Vietnam. Muslim campa terdiaspora ke berbagai wilayah di indocina hingga ke Aceh. (lengkapnya baca: Campa, Negara Islam Pertama di Asia Tenggara).

Jeumpa hanyalah salah satu sebutan bagi Campa. di Nusantara kadang kadang nama Campa juga disebut sebagai Cempa kadangkala disebut juga sebagai Cempaka. Entah kebetulan atau memang begitu adanya, di nusantara ini nama cempaka seperti hal nya Kamboja, adalah juga nama bunga. Dan seperti yang disebut dalam kidung bungong Jempa tadi “……..Puteh kuneng dicampur mirah . . . . .” bunga cempaka memang terdiri dari cempaka putih, cempaka kuning dan cempaka merah. 

Di tanah Jawa, bunga cempaka kuning lebih dikenal dengan nama bunga Kantil. Bunga yang wanginya memang semerbak, dan telah digunakan sejak masa jawa kuno sebagai pengharum mahligai raja hingga mahligai pengantin, yang semuanya terkait dengan prosesi dan ritual. Sampai sampai kemudian bunga semerbak mewangi ini di identikkan dengan klenik, mahluk halus dan aroma mistis lainnya. Padahal cempaka adalah cempaka yang semerbak mewangi seperti halnya si “bungong jeumpa” . . . . . .

Sunday, July 20, 2014

Bunga Wijaya Kesuma

Kembang Wijayakusuma.

Terkenal oleh kebesaran legenda-nya, bunga wijaya kesuma termasuk tanaman langka yang hanya tumbuh di segelintir tempat saja di Nusantara. Gugus pulau pulau batu karang di Karimun Jawa (di laut utara) dan Nusa Kambangan (di laut selatan) disebut sebut sebagai pertahanan terahir tempat bunga ini tumbuh.

Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan Surakarta, khususnya keraton, percaya bahwa seorang raja yang akan naik tahta haruslah memiliki bunga Wijayakusuma sebagai syarat. Bunga ini juga dipercaya sebagai pusaka keraton Dwarawati titisan Wisnu sang pelestari Alam, Batara Kresna dan memiliki kemampuan menghidupkan orang yang mati. 

Legenda lain menyebutkan bahwa bunga wijaya kesuma mampu membuat awet muda. siapa saja yang mampu bertahan menyaksikan detik detik mekarnya bunga ini hingga kuncup lagi di tengah malam, konon akan mendapatkan paras awet muda.

Bunga wijaya kesuma hanya mekar sesaat saja dengan aroma harum semerbak yang luar biasa, dan itupun ditengah malam. Ditambah lagi dengan tidak mudahnya untuk menemukan tanaman ini, sehingga membutuhkan tekad dan niat kuat untuk sekedar menikmati keindahan dan keharuman bunga satu ini. 

Setelah mekar sesaat bunga ini akan kuncup kembali. Sangat berbeda dengan bunga edelweiss yang akan mekar selamanya, hingga digelari sebagai bunga abadi. 

Menurut para ahli Bunga Wijayakusuma (epiphyllum anguliger) termasuk jenis tanaman kaktus yang mempunyai kelas dicotiledoneae dan berasal dari Amerika tropika (Venezuela dan Caribia), meski tak ada satu literatur pun yang menjelaskan bagaimana bunga tersebut bisa sampai ke Nusantara.

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga

Wednesday, July 17, 2013

Edelweiss Apa Indahnya ?

Bunga Edelweis di Pondok Salada, Gunung Papandayan - Jawa Barat.
Dulu ketika pertama kali sampai di gunung papandayan dan pertama kali menemukan bunga yang disebut Edelweiss itu, expressi ku luar biasa takjub, bukan karena indahnya tapi justru karena tiada yang istimewa dari tampilanya. Hanya seonggok bunga kecil berwarna putih tanpa bau semerbak harum, tanpa kelopak yang luar biasa menarik dan tak memiliki secuil rupapun yang bisa menjadikannya sebagai setangkai bunga yang layak diperjuangkan.

Hanya aroma kesegaran yang terendus dengan nyata di hidung dan seliweran kumbang kumbang kecil yang singgah dari satu kumpulan bunga bunga mungil ini ke kumpulan bunga berikutnya. Aku sendiri bahkan sedikit kecewa dengan tampilannya ketika itu. Exiting yang menggebu pada awalnya untuk sekedar tahu seperti apa gerangan bunga yang menjadi perbincangan para “pujangga cinta picicisan” hingga “roman cinta beneran” itu, berahir biasa biasa saja. Pohonnya pun bukanlah pepohonan besar nan perkasa, tak lebih dari sekedar perdu di pegunungan. Lagipula mana ada pepohonan kekar nan menjulang di ketinggian sana. 

Namun seketika itu juga disadarkan oleh sebuah kesadaran bahwa tak perlu menjelma sebagai sesuatu yang luar biasa untuk menjadi luar biasa. Kebelakaan dan apa adanya dalam ketulusan dan kejujuran kadangkala justru menjadi sesuatu yang luar biasa.  Seperti halnya jujur yang seakan sudah menjadi bunga yang tak tumbuh di setiap kebun, pribadi yang berani jujur di jaman yang serba tak jujur ini mendadak menjadi pribadi yang biasa. Seperti pribadi yang berani tampil apa adanya tanpa rekayasa untuk polesan ke ja’iman untuk menjaga citra kesempurnaan diri pun akan menjelma menjadi sesuatu yang luar biasa di tengah dunia yang penuh dengan sandiwara dan rekayasa ini.

Letih jiwa kadang terobati ketika kita memberanikan diri untuk bersikap apa adanya dalam ketulusan dan kejujuran. Beramal shaleh pun terasa ringan ketika kita mengabaikan segala bentuk pencitraan untuk sekedar mendapatkan pujian dari sesama. Selembar seribu rupiah terkadang terasa berharga untuk disedekahkan ketika hati dipenuhi dengan sakwasangka, tapi seratus ribupun terasa ringan untuk disumbangkan ketika kita merendahkan hati dalam ketulusan tanpa pamrih untuk memberi dan meringankan penderitaan orang lain.

Wajarlah bila hingga detik inipun tak seorangpun mampu mendeskripsikan dengan gamblang dan masuk akal tentang sebuah kenyataan “mengapa dulu anda jatuh cinta pada pasangan hidup anda saat ini?”. atau mengapa anda jatuh cinta pada profesi anda ?. mengapa anda memilih berpayah payah datang ke kota suci Mekah Al-Mukarromah untuk berhaji hanya karena kecintaan anda kepada Alloh dan Rosulnya ?.  padahal hingga kini pun tak seorang jua yang mampu menjelaskan cinta dalam kalimat sederhana yang dapat dicerna oleh akal sehat manapun.

Cinta yang membuat anda naik pitam ketika agama anda dihina, cinta pula yang membuat anda rela menghabiskan waktu berhari hari untuk bergotong royong membangung masjid padahal anda sendiri seumur hidup belum pernah faham cara menggunakan centong semen, cinta juga yang membuat seorang ayah rela berpeluh berjuang menahan hati yang sakit dalam makian sang majikan demi menafkahi keluarganya, cinta juga yang membuat seorang istri dengan tulus hari rela pergi keluar negeri untuk mencari rejeki. Ketika kita bicara cinta, nurani yang tuluslah yang berbicara. Kepolosan dan kejujuranlah yang mengemuka.

Seperti edelweiss yang tampil apa adanya, menghadirkan dirinya dalam kebelakaan tanpa tindakan pencitraan. Hati yang tulus jua yang pada ahirnya menemukan kebesaran makna dirinya. Diri yang rela istiqomah dalam hidup. Sekali berarti sudah itu mati. Tak ada kata redup dan kuncup kembali. Sekali layar terkembang pantang surut ke pantai. Seperti edelweiss juga yang sekali mekar tak kan pernah kuncup kembali. Waktu lah yang pada ahirnya membuat setiap kuntumnya mongering, usang, gugur lalu sirna tertiup angin.

Seperti kecintaan ayah dan bunda kepada putra putrinya yang tak kan lekang termakan jaman. Hanya waktu yang ahirnya memisahkan.  seperti cinta rosul pada ummatnya yang tak kenal sakwasangka selain kerelaan dan ketulusan tak berbatas. Seperti Tuhan yang “mengasihi” setiap hambanya tanpa peduli seberapa patuh dan ingkarnya masing masing hambanya.

Edelweiss yang bersahaja itu memberikan makna akan sebuah ketulusan tanpa pamrih. Kebelakaan dalam ketulusanlah yang membuatnya melegenda dalam bentuknya yang tak seindah mawar dan tak seharum melati.

Tersisa sebuah pertanyaan kecil kini. Mampukah kita mencintai sang pencipta dengan kerelaan mencintai DIA yang senantiasa memberi meski senantiasa kita ingkari ?. Mampukah kita mencintai DIA meski kita senantiasa berpaling muka dari NYA. Mencintai DIA dengan segala kerelaan, kebelakaan dan ketulusan dalam keihklasan, agar kita menjadi pribadi pribadi yang layak DIA cintai ?. Seperti edelweiss yang tampil apa adanya tapi begitu dicintai oleh para pecinta ?.

Ah ternyata seindah apapun cinta mu dan cinta kita padanya masih jauh lebih indah cinta NYA kepadamu. Kita bahkan tak lebih indah dari serangkai bunga edelweiss yang tak indah itu. Lalu nikmat Tuhanmu yang manakah lagi yang hendak kau dustakan.***

-----------

Dulunya artikel ini kutulis untuk membantu putri pertamaku yg masih duduk di kelas 7 SMP negeri dan mengerjakan PE ER nya, lalu ku posting di multiply.com tapi kemudian layanan blog di situs itu di tutup.