|
Indahnya bentang alam Garut dipandang dari Karangpawitan, daerah yang diyakini sebagai makam nya Syech Rohmat Suci alias Kian Santang. |
Apakah Kian Santang adalah Dongengan Pangeran
Cakrabuana?
Teori
atau pendapat lain bahkan menyebutkan bahwa sesungguhnya sosok Kian Santang itu
tidak pernah ada. Kisah Kian Santang sendiri adalah sebuah kisah karangan yang
dituturkan oleh Pangeran Cakrabuana dalam dakwahnya dengan metoda berdakwah
melalui cerita atau mendongeng. Bahwa kisah Kian Santang yang dituturkan itu
diambil dari salah satu buku yang tersimpan di perpustakaan kerajaan Pajajaran.
Pangeran Cakrabuana memetik kisah itu menjadi bahan dakwahnya karena memiliki
alur cerita yang mirip dengan perjalanan hidupnya sendiri.
Konon,
buku tersebut mengisahkan tentang Pangeran Gagak Lumayung putra mahkota
kerajaan Tarumanegara, anak dari Prabu Purnawarman, di sekitar tahun 450
masehi. Nama Ki An San Tang (Sang Penakluk Bangsa Tan) merupakan gelar
kehormatan bagi Gagak Lumayung yang berhasil mengalahkan pasukan bangsa Tan
yang kala itu menyerbu ke Taruma Negara. Dan menurut pendapat ini, sosok Kian
Santang yang selama ini kisahnya dituturkan adalah sosok pangeran Gagak
Lumayung tersebut. Pendapat ini agak sulit untuk diterima karena Pangeran Gagak
Lumayung yang dimaksud justru hidup di masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad
s.a.w. Sehingga dengan sendirinya pendapat yang menyatakan bahwa Kian Santang
Adalah cerita dongeng yang dituturkan oleh Pengeran Cakrabuana dari Kisah
perjalanan Ki An San Tan alias Gagak Lumayung dari era Tarumanegara, gugur
dengan sendirinya.
Kian Santang Bertarung dengan Ayahnya Sendiri?
“Adu
kesaktian” dengan berbagai alur cerita antara Kian Santang melawan ayahnya
sendiri (Prabu Siliwangi) sangat melekat dengan sosok Kian Santang, dan ahir
dari ‘pertarungan’ itu adalah sebuah gua di Leuweung (Hutan) Sancang (di
Pameungpeuk, Kabupaten Garut). Ada
banyak versi tentang ahir dari bagian ini, namun memiliki garis merah yang sama
yakni; Prabu Siliwangi “Moksa” di Leuweung Sancang.
Bila saja
kisah tersebut, benar adanya. Itu bermakna Prabu Siliwangi moksa dua kali.
Karena kemudian ada kisah tutur yang menyebutkan bahwa moksanya Prabu Siliwangi
karena ke-engganannya mengikuti ajakan Syarif Hidayatullah untuk (Kembali)
ber-Islam. Antara usia Kian Santang dan Syarif Hidayat (antara paman dan
keponakan) terpaut dua puluhan tahunan, atau dalam bahasa sederhananya pada
saat Syarif Hidayat baru lahir di tanah arab, Kian Santang sudah sakti di tanah
Jawa.
Bila
Prabu Siliwangi sudah di “moksa’ kan oleh Kian Santang di Leweung Sancang dan
sudah tidak lagi hidup di alam dunia ini dan juga sudah tidak lagi menjadi Raja
Pajajaran, bukankah mustahil sosok yang sama kemudian berhadapan dengan Syarif
Hidayatullah lalu “moksa” demi menghindari pertarungan dengan cucunya sendiri.
Dalam
artikel sebelumnya tentang Prabu Siliwangi, telah dijabarkan bahwa Prabu Siliwangi
wafat secara wajar dan kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Putra Mahkota,
Prabu Surawisesa. Beliau yang kemudian menulis sebuah prasasti di tahun ke 12
sejak kematian ayahandanya. Prasati yang dikemudian hari dikenal sebagai
Prasasti Batu Tulis. Pembuatan prasasti tersebut dilakukan di masa damai
setelah ditandatanganinya perjanjian tapal batas dengan Kesultanan Cirebon,
saat itu Pajajaran juga sudah kehilangan wilayah Banten dan Sunda Kelapa yang
dikuasai Kesultanan Cirebon.
Maknanya
bahwa, Baik Kian Santang maupun keponakannya (Syarif Hidayatullah), tidak
pernah bertarung atau adu kesaktian dengan Prabu Siliwangi dalam upaya
meng-islam-kan ataupun dalam upaya mengajak Prabu Siliwangi untuk kembali ke
jalan Islam, dan berujung kepada moksa nya Sang Prabu dari alam dunia.
Manakala cinta berahir duka
Menilik tiga pernikahan Prabu
Siliwangi, kita akan mendapati kenyataan bahwa dua dari pernikahan beliau
memiliki nuansa politik yang kental. Pernikahannya dengan Kentring Manik Mayang
Sunda memberikan beliau legalitas sebagai pewaris kerajaan Sunda dari Prabu
Susuktunggal. Kemudian pernikahannya dengan Ambet Kasih yang tak lain adalah
putri dari Ki Gde Sindangkasih penguasa Sindangkasih (Majalengka), daerah yang
“tak jauh dari” atau malah merupakan “ibukota” kerajaan Galuh yang membuka
ruang baginya untuk memuluskan kekuasaan dari ayahandanya, Prabu Dewa Niskala.
Sedangkan perjumpaan beliau
dengan Subang Larang, merupakan perjumpaan tanpa sengaja di ‘pesantren’ Syech
Quro, yang justru terjadi dalam tugas beliau untuk membumihanguskan pondok
Quro, tapi malah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Subang Larang.
Kekuatan apa yang mampu membuat pewaris tahta dua kerajaan sekaligus, mampu
mengubah haluan hidupnya, selain kekuatan cinta.
Cinta nya kepada Subang Larang
yang kemudian membawa beliau kepada Islam, demi memenuhi syarat yang diajukan
oleh Subang Larang untuk menerima pinangan Prabu Siliwangi. Berislamnya Sang
Prabu tidak diikuti dengan berislamnya Pajajaran secara keseluruhan kala itu,
mengingat bahwa pernikahan terjadi pada saat Sang Prabu masih berstatus sebagai
“putra mahkota”, dan kemungkinan akan menyulitkkan posisinya untuk menyatukan
kembali dua kerajaan yang terpisah apabila terang terangan menyatakan
keyakinannya yang sudah berbeda dengan khalayak ramai kala itu termasuk berbeda
dengan anggota keluarga keraton
Pajajaran lainnya.
Dari fakta sejarah tidak pernah
ada serbuan dari pusat kerajaan Pajajaran ke daerah Cirebon meskipun saat itu
Islam sudah berkembang pesat di masa Pangeran Cakrabuana berkuasa disana
sebagai bawahan Pajajaran, bukahkah Prabu Siliwangi sendiri yang datang ke
Cirebon dan mengesahkan Pangeran Cakrabuana, putra tertuanya dari Subang Larang
sebagai penguasa Cirebon sebagai kerajaan bawahan Pajajaran. Sangat nyata bahwa
beliau melakukan pembiaran bagi berkembangnya Islam di kerajaannya sendiri.
Suasana berubah drastis ketika Subang Larang wafat, Sang Prabu tenggelam dalam
duka mendalam dan berkepanjangan, membuat beliau kehilangan sosok yang
senantiasa mengingatkan beliau pada nilai nilai Islam, sedangkan dua anaknya
(Cakrabuana dan Rara Santang) sudah tidak tinggal di Kraton Pajajaran. Hanya
putra ke tiganya dari Subang Larang yakni Kian Santang yang masih tinggal di
kraton Pajajaran. Maka wajar bila kemudian berkembang kisah tutur tentang
pertarungan antara Kian Santang dengan ayahnya dalam upaya mengislamkan
(kembali) sang Ayah. Yang paling mungkin terjadi adalah, Kian Santang memang
berusaha ‘menasihati’ ayahandanya untuk tidak berlarut larut dalam kesedihan
dan kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya. Namun tentu saja tanpa sebuah
pertarungan adu kesaktian dua pendekar pilih tanding sebagaimana yang sering
disampaikan secara tutur tinular.
Apakah Kian Santang Pergi Meninggalkan Tahta ?
Prasasti
Banten mengindikasikan bahwa Prabu Siliwangi wafat dan dimakamkan di Rancamaya,
bukan moksa di suatu tempat. Bila beliau moksa tentunya tidak akan ada prosesi
pemakaman dan dua belas tahun kemudian makamnya di bongkar oleh Prabu
Surawisesa untuk diperabukan bersamaan dengan pembuatan prasasti yang kini
dikenal dengan prasasti Batu Tulis.
Kehilangan
Ibunda sekaligus kehilangan ayahanda tercinta dan bukan pula sebagai pewaris
utama tahta kerajaan tentunya cukup alasan bagi Kian Santang untuk hijrah
kemanapun yang beliau inginkan. Sedangkan untuk berdakwah dilingkungan keraton
yang masih kental dengan ajaran sebelumnya, termasuk juga masih dianut oleh
Penerus Raja yang tak lain adalah Kakaknya sendiri meski berbeda ibu, hanya
akan menimbulkan pertentangan dan pertikaian yang tidak semestinya terjadi.
Dapat
difahami bila kemudian Kian Santang memilih untuk berdakwah di pedalaman
Pajajaran, tidak pula di wilayah Cirebon yang sudah ditangani oleh kakaknya dan
dikemudian hari dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah yang tak lain adalah
keponakannya sendiri. Dan sebagai putra raja wajar pula bila beliau melakukan
perjalanan ditemani oleh pengawal dan orang orang kepercayaan dengan bekal yang
cukup pula untuk memulai sebuah kehidupan baru. Seberapapun perbedaan pandangan
hidup antara Kian Santang dengan Surawisesa namun bagaimanapun mereka adalah
saudara seayah. Surawisesa selaku penerus tahta tidak mungkin membiarkan
adiknya pergi begitu saja meninggalkan istana tanpa bekal apapun.
Dikemudian
hari beliau dikenal dengan nama Sunan Rohmat dan diyakini wafat dan dikebumikan
di tempat terahir beliau berdakwah, di suatu tempat di Garut yang kini dikenal
dengan nama Makam Godog di Desa Lebak
Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. tidak
hanya beliau yang bermakam disana tapi juga beberapa pengikut atau pengiring
atau pengawal beliau. Komplek pemakaman yang ramai dikunjungi para peziarah
dari berbagai penjuru tanah air.
Penutup
Kisah
tutur yang berkembang di masyarakat mengalir secara turun temurun, meski sulit
untuk dibuktikan validitasnya namun pastinya ada pelajaran pelajaran berharga
yang dapat dipetik. Terlepas dari segala perbedaan pendapat tentang tokoh tokoh
masa lalu, namun satu hal yang pasti bahwa mereka telah memperkenalkan ataupun
menghadirkan Islam ke Nusantara. Kita yang hidup di masa kini selayaknya
meneruskan apa yang telah mereka rintis, untuk melanjutkan ataupun
menyempurnakan dakwah yang sudah mereka mulai, dengan kemampuan dan kapasitas
masing masing. Mohon maaf bila dirasa ada yang kurang berkenan.****
------------------------------
Baca Juga