Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Imperium dari bahasa Latin
menjadi empire dalam bahasa Inggris, yang berarti sekelompok negara atau negeri
dengan wilayah kekuasaan yang luas di bawah otoritas tunggal. Dapat pula
diartikan sebagai organisasi komersial raksasa yang dimiliki atau dipimpin oleh
seseorang.
Amerika Serikat sejak akhir abad
ke-19, dengan merebut Filipina dari tangan Spanyol pada 1898, sedang bergerak
dalam proses awal mengukuhkan dirinya sebagai sebuah imperium yang puncaknya
terjadi pada era pascaPerang Dingin. Tetapi, untuk berapa lama lagi? Pertanyaan
inilah yang telah dijawab oleh beberapa penulis terkenal, seperti Francis
Fukuyama, Emmanuel Todd (Prancis), Fareed Zakaria (warga Amerika kelahiran
India), dan Johan Galtung (Norwegia). Untuk mendukung nafsu imperiumnya,
Amerika telah menguras uang pajak rakyatnya sendiri dalam angka triliunan dan mengorbankan
rakyat bangsa lain serta rakyatnya sendiri di medan pertempuran. Semuanya ini
dilakukan dengan berbagai helat dan pembenaran, apakah untuk mengekspor
demokrasi atau hak-hak asasi manusia. Dalam perspektif ini, Amerika memang
adalah sebuah negara imperialis yang datang terlambat dibandingkan dengan
negara-negara Eropa pada abad-abad yang silam.
Todd menulis karya After the
Empire: The Breakdown of the American Order/terj dari bahasa Prancis oleh C Jon
Delogu(London: Constable, 2004). Judulnya sendiri sudah menunjukkan, imperium
Amerika sedang berada di ujung tanduk. Fareed Zakaria di bawah judul yang lebih
lunak The Post American World (London: Penguin Books, 2008), juga sudah melihat
bahwa imperium Amerika akan segera berakhir. Di antara penulis itu, adalah
Galtung yang telah mematok tahunnya, yaitu pada 2120, menjadi tahun kejatuhan
imperium Amerika dengan buku terbarunya, The Fall of the US Empire-and then
What? Successors, Regionalization or Globalization? US Fascism or US
Blossoming? (Oslo: Transcend University Press, 2009).
Francis Fukuyama, yang karyanya
akan disinggung sebentar lagi, membaca posisi Amerika sedang berada di
persimpangan jalan, sebuah koreksi terhadap karya sebelumnya yang sarat dengan
optimisme tentang sistem kapitalisme dan demokrasi liberal. Mohon Tuan dan Puan
jangan salah raba.
Yang akan tumbang bukan Republik
Amerika, melainkan Amerika Serikat sebagai imperium dengan politik luar
negerinya yang imperialistik yang ternyata telah menebarkan kekacauan dan
permusuhan di seluruh jagat raya, khususnya sejak pascaPerang Dunia (PD)
ke-2.Juga, Tuan dan Puan jangan salah sangka. Semua penulis di atas adalah
pencinta Amerika sebagai republik, sebagai bangsa, tetapi pembenci imperium
Amerika, terutama terbaca dengan sangat jelas dalam karya Todd dan Galtung.
Amerika sebagai bangsa dan negara, menurut para penulis itu, akan tetap utuh,
bahkan mungkin semakin jaya karena petualangan politik luar negerinya yang
menguras pajak rakyat Amerika itu akan terpaksa dihentikan.
Kita lihat optimisme Fukuyama.
Setelah memenangi Perang Dingin dengan keruntuhan Uni Soviet pada 1989/1990,
Amerika muncul sebagai satu-satunya adikuasa tanpa lawan yang berarti. Sistem
komunisme Uni Soviet berantakan karena pembusukan dari dalam, sedangkan
lawannya kubu kapitalisme seolah-olah telah jadi pemenang. Francis Fukuyama,
filsuf sosial warga Amerika berdarah Jepang, mengukuhkan kemenangan ini dengan
menulis buku The End of History and the Last Man (New York: Avon Books, 1992)
yang ramai dibicarakan secara global. Seakan-akan kapitalisme dan demokrasi
liberal merupakan puncak peradaban, tidak ada lagi yang unggul dari itu. Itulah
capaian tertinggi dari sejarah. Kemudian, mengapa Fukuyama berubah
pandangan?Dalam bacaan saya, jawabannya terkait dengan politik luar negeri
Amerika yang jingoistik (cinta tanah air yang berlebihan) dan ekspansif.
Akibatnya, pada era Presiden Bush terutama, selalu merasa terancam oleh
kekuatan luar yang membahayakan negaranya, sesuatu yang sama sekali palsu.
George Bush adalah seorang paranoid (hidup dalam ketakutan).
Suasana batin yang labil ini
dimanfaatkan secara maksimal oleh gerakan Zionisme, demi eksistensi Israel yang
sebenarnya tidak lain ialah sebuah negara teror. Berbeda dengan Todd dan
Galtung yang anti-Zionisme, Fukuyama sendiri tampaknya tidak punya nyali yang
cukup untuk berbicara terus terang tentang ideologis fasis ini.
Todd sekalipun menghindari
menyebut Zionisme, tetapi melihat dengan jelas peran strategisnya dalam
mencoraki politik Amerika, dalam dan luar negeri. Todd juga punya perasaan
simpati atas nasib rakyat Palestina dalam cengkeraman kolonisasi Yahudi. Kita
baca, “Ketidakadilan terhadap rakyat Palestina dari hari ke hari oleh
kolonisasi Yahudi atas sisa-sisa tanah mereka dengan sendirinya adalah sebuah
penyangkalan terhadap prinsip persamaan, yang menjadi fondasi demokrasi.
Bangsa-bangsa demokrasi lain, terutama di Eropa, tidak punya simpati tanpa
syarat terhadap Israel seperti yang dirasakan Amerika.” (Todd, hlm 114).
Adalah sebuah keheranan besar,
penduduk Yahudi Amerika hanyalah sekitar 2.2 persen (Todd, hlm 115) dari total
rakyat Amerika, mengapa perannya demikian menentukan? Dengan runtuhnya imperium
Amerika, jawaban terhadap pertanyaan ini akan lebih mudah diperkirakan.
Artinya, peta politik global akan berubah secara drastis, dan nasib Israel akan
jadi taruhan, karena pelindung utamanya telah menarik diri sebagai sebuah
imperium.
Dan, tidak tertutup kemungkinan
Palestina akan muncul sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Jika ini
terjadi, terorisme akan surut secara dramatis dan tiba-tiba, karena raison
d'trĂȘ (pembenaran eksistensi) utamanya sudah tidak ada lagi. Perasaan aman
secara global akan mengikutinya sebab biang kerok kekacauan ini tidak lain dari
politik luar negeri Amerika yang paranoid di bawah pengaruh kuat Zionisme, yang
memang “bukan bagian dari kemanusiaan”, tulis Gilad Atzmon (lihat Resonansi, 13
Januari 2009 dan 10 Juni 2010). Bagi Galtung, untuk mengakhiri terorisme,
akhiri lebih dulu terorisme negara, maksudnya Amerika dan Israel. (Telusuri
artikel Galtung dan Dietrich Fischer via Google, 20 September 2002, di bawah
judul “To End Terrorism, End State Terrorism”).
Fukuyama yang semula adalah
bagian kekuatan neo-konservatif berubah 180 derajat setelah Presiden George
Bush menyerang Iraq dan menggantung Saddam Hussein. Maka beberapa tahun
kemudian, muncullah buku keduanya di bawah judul "America at the Crossroads:
Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy" (New Haven-London: Yale
University Press, 2006) sebagai ralat terhadap optimismenya yang berlebihan
tentang hari depan kapitalisme dan demokrasi liberal.
Jika buku ini ditulis setelah
krisis keuangan Amerika tahun 2008, tentu analisis Fukuyama akan lebih tajam
lagi. Ternyata kapitalisme dengan doktrin pasar bebasnya punya penyakit
kronisnya tersendiri, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh seorang
Milton Friedman (31 Juli 1912-16 Nop. 2006), ekonom pro-pasar, pemenang Hadiah
Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1976, yang pernah dipuja dunia itu, termasuk oleh
pengikutnya di Indonesia.
Karya Fukuyama ini masih perlu
kita bicarakan lagi, terutama yang menyangkut isu jihad yang kemudian semakin
menyebabkan Presiden George Bush jadi gelap mata untuk menyerang negara-negara
yang dikatakan sebagai pusat terorisme dan senjata kimia pemusnah massal,
semula Afghanistan kemudian Iraq. Akibat serangan imperialistik itu, dua bangsa
Muslim ini berantakan dengan korban jiwa ratusan ribu. Tetapi, akibatnya bagi
Amerika tidak kurang fatalnya: mempercepat proses kerontokan imperiumnya yang
baru saja mencapai titik puncaknya pada 1991 (Zakaria, hlm 4).Jika ramalan
Galtung menjadi kenyataan nanti, daya tahan imperium Amerika hanyalah akan
berumur setahun jagung, tidak bisa menandingi imperium Romawi kuno yang
berlangsung selama lima abad. Apalagi, jika disandingkan dengan imperium Turki
Usmani atau imperium Sriwijaya yang bertahan selama tujuh abad.Menurut
Fukuyama, apa yang dikategori kan sebagai jihadisme modern dalam bentuk
terorisme tidak ditemukan dalam tradisi asli Islam pada masa awal. Gagasan ini
justru ber asal dari Barat untuk menciptakan sebuah doktrin baru yang bersifat
universal sebagai sumber identitas dalam konteks dunia multikultural, membuana,
modern. Ini merupakan upaya demi mengideologikan agama untuk tujuan politik.
Dengan demikian, jihadisme lebih merupakan produk modernisasi, seperti halnya
komunisme atau fasisme. Sekali lagi, banyak gagasan yang Islamis bukan datang
dari Islam, melainkan justru berasal dari Barat yang dikalungi jubah serba
Islam (lih, hlm 72-73).
Joseph E Stiglitz (9 Februari
1943), ekonom Amerika yang juga pemenang Nobel 2001, mengatakan, krisis
finansial Amerika itu disebabkan oleh kemunafikan dan ketidak jujuran dalam
pengelolaan keuangan. Stiglitz juga mengkritik keras peran IMF (International
Monetary Fund) dan Bank Dunia dalam memperburuk situasi ekonomi global.
Korbannya cukup banyak, khususnya negara-negara berkembang, salah satu nya adalah
Indonesia yang diberi resep salah oleh badan-badan keuangan dunia yang tidak
lain merupakan perpanjangan tangan kapitalisme.
Apa yang kita kenal dengan BLBI
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) terhadap bank-bank bermasalah yang sedang
kelimpungan akibat krisis 1998 yang kemudian harus ditalangi dengan menguras
uang rakyat Indonesia sekitar Rp 650 triliun itu adalah bagian dari resep badan
keuangan dunia itu. Masalah dahsyat yang memiskinkan rakyat ini belum menemukan
titik terang penyelesaian sampai hari ini. Kembali kepada Fukuyama. Serangan
terhadap Irak tersebut, menurut Fukuyama dan beberapa pengamat lainnya,
merupakan sebuah kesalahan karena didalangi oleh orang-orang pro-Zionis,
misalnya, Paul Wolfowitz, Douglas Feith, dan Richard Perle untuk mengamankan
pososi Israel di lingkungan dunia Arab yang memusuhinya. Sebagaimana kita
ketahui, Wolfowitz pernah bertugas di Jakarta sebagai dubes Amerika dan banyak
memiliki teman di sini.
Argumen yang terpisah atas
serangan terha dap Irak dialamatkan kepada Leo Strauss, tokoh neokonservatif
yang dijuluki sebagai “a champion of the ‘noble lie’/pelopor dusta yang
terhormat”. Baginya, menjadi sebuah kewajiban untuk berdusta terhadap massa
karena hanya segelintir elite sajalah yang secara intelektual pantas untuk mengetahui
kebenaran. (Fukuyama, America, hlm 12-13). Selintas, mengingat kan kita kepada
Adolf Hitler dalam karyanya Mein Kamps (Perjuanganku) yang mengatakan, dusta
yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran.
Fareed Zakaria yang menghindari
terminologi rontoknya imperium Amerika dengan judul bukunya The Post American
World (Dunia Pasca- Amerika). Substansinya tidak banyak berbeda. Hanya, Zakaria
menambahkan, semuanya itu terjadi karena “the Rise of the Rest” (bangkitnya
negara-negara lain, terutama di dunia dagang), seperti Brasil, Meksiko, Korea
Selatan, Taiwan, India, Cina, Argentina, Cile, Malaysia, dan Afrika Selatan.
Sebagai migran India, Zakaria adalah orang yang menikmati sistem demokrasi
Amerika, sesuatu yang sulit ditemukannya di dunia Arab. Dengan menyebarnya
kekuatan ekonomi pada berbagai negara, Amerika sudah tidak punya kapasitas lagi
untuk mendikte dunia se mau gue, sesuatu yang sangat terasa pada era selama
beberapa tahun pas ca-Perang Di ngin.
Sebelum muncul sebagai sebuah
imperium, Amerika dulunya, dikutip dari Todd, adalah protektor/pelindung
kemudian malah berubah menjadi predator/pemangsa. “Sekarang, hanya ada satu
ancaman terhadap stabilitas dunia yang tak lain adalah Ame rika sendiri ….”
(Todd, hlm 191). Pengamat politik global telah memperkirakan, setidaknya,
mereka bertahan sampai bangunan imperiumnya roboh dalam tempo yang tak lama
lagi.
Keresahan Johan Galtung dan
Emmanuel Todd terhadap kelakuan imperium Amerika yang ditunggangi oleh Zionis
global itu sebenarnya merupakan keresahan seluruh dunia beradab. Dengan porsi
yang hanya 2,2 persen orang Ya hudi di Amerika (tidak semuanya pendukung
Zionisme), dalam catatan Galtung, enam perusahaan Yahudi menguasai 96 persen
media dan 70 persen profesor pada 20 universitas terpenting Amerika merupakan
Yahudi. (Lih, Haarets, 30 April 2012 dan artikel Karin Abraham dalam The Times
of Israel, 25 April 2012, berjudul “Jews control media, ‘peace’ professor
Galtung claims”).
Akhirnya, saya sungguh berharap,
perkiraan Galtung, Todd, dan yang lainnya akan menjadi kenyataan dalam tempo
yang tak terlalu lama lagi demi membebaskan bumi dari petualangan politik
ekspansif, keonaran, dan ketidaknyaman an oleh ulah imperium yang dikendalikan
oleh kelompok minoritas Zionis yang menyatu dengan Israel. Sebagian bangsa
Muslim sering menari sesuai dengan irama bunyi genderang yang di tabuh pihak
lain.
-----------------------------------
Follow
akun instagram kami di @masjidinfo
| @masjidinfo.id
| @hendrajailani
------------------------------------
Baca Juga