|
Makam Pendiri Gelumbang, di dalam bangunan beratap, makam di bagian depan foto bertuliskan "cucu Fatahillah". |
Anda tahu apa itu pejEratan ?.
tidak tahu kah, itu sangat wajar, karena memang perkiraan saya sih 90% lebih
penduduk Negara ini tak faham arti kata itu. pejEratan merupakan kata dalam
bahasa Belida atau Blide yang berarti pekuburan alias pemakaman. Jangan salah
menyebutnya apalagi sampai terpeleset menjadi pejelatan, karena pejelatan
artinya adalah mainan. Dan masalah pejEratan bukanlah masalah pejelatan, iya
kan. Belida sendiri merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan sepanjang tepian
sungai Belida, salah satu anak sungai Musi di provinsi Sumatera Selatan.
Di kampung kami di kelurahan
Gelumbang yang masuk dalam wilayah Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan,
(dulunya) PejEratan berada di ujung kampung di bagian hilir, dan sama seperti
halnya pemakaman di bagian lain negeri ini yang selalu di identikkan dengan
angker, seram, hantu, pocong, kuntilanak, genderuwo, arwah penasaran, klenik,
mitos, mistik dan lain sebagainya.
Di bagian depan pejEratan itu
dulunya ada beberapa pohon besar dan tinggi salah satunya adalah pohon cempedak
yang berdiri kokoh hanya beberapa depa dari ruas jalan lintas (tengah) Sumatera
yang menghubungkan kota Prabumulih di selatan ke kota Palembang di utara. Di
bawah pohon besar itu dulu semasa kanak kanak kami seringkali nongkrong
menjajakan burung betet kepada para pengguna jalan yang lalu lalang bersama
teman teman.
Tak ada rasa takut atau seram
kala itu itu, karena memang tidak sendiri. Apalagi diantara kami ada beberapa
orang adalah teman teman senior yang jauh lebih tua yang salah satunya kini
telah menjadi “pengusaha muda Gelumbang” alias orang terkaya di Gelumbang,
karena kesuksesan bisnis yang digelutinya, pastinya bukan karena jualan burung
Betet, ya.
pejEratan yang dulu berada di
ujung kampung yang sunyi senyap kini sudah berada di tengah keramaian. Dan
tentu saja bukan karena pejEratannya yang bergeser tapi karena memang
kampungnya yang telah berkembang pesat. Pohon pohon besar di tepian jalan di
depan nya kini sudah lenyap beganti dengan beberapa rumah dan ruko yang konon
pemiliknya membeli lahan tersebut dari seseorang secara sah, meski terasa agak
aneh mengingat pejEratan itu (konon juga) merupakan lahan bersama dan sejak
dulu sudah penuh sesak dengan makam makam tua hingga ke tepian jalan raya, tapi
begitulah.
Memang sih sebagian lahan yang
oleh masyarakat dianggap sebagai “lahan pemakaman umum” itu memang merupakan
lahan pribadi yang tidak pernah ada pernyataan resmi dari pemilik nya untuk
dijadikan areal pemakaman umum, meski pihak keluarga kemudian memakamkan
jenazah kerabat mereka disana dan dikemudian hari di ikuti oleh kerabat yang
lain. Lalu di hari yang lain jenazah orang lain pun turut dimakamkan disana
tanpa sepengetahuan pemilik lahan dan walahasil semakin hari semakin
bertambahlah hingga terkesan seolah olah seperti lahan pemakaman umum.
Makam Pendiri
Gelumbang
Di pejEratan Gelumbang terdapat
satu makam yang terlihat sangat menyolok berbeda dengan yang lain, karena
merupakan satu satunya makam yang diberi atap di area tersebut. Bangunan makam
yang dalam bahasa Belida disebut Gobah. Makam tersebut merupakan makam pendiri
Gelumbang. Merujuk kepada nama yang di tulis di dinding bangunan makamnya serta
di batu nisannya, beliau bernama Raden Mardin Bin Raden Wiharjo (1452M) beserta
istrinya bernama Huminah Binti Dinharjo (1452M).
|
Raden Mardin Wiharja. diyakini sebagai nama dari pendiri Gelumbang yang kini menjadi Kelurahan di dalam lingkup wilayah Kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan. |
Masih di dalam gobah juga
terdapat dua makam lainnya yang nisannya sama sekali baru yakni makam dari
Abdullah Bin Hasbullan (1505-1772) dan R. Afillah atau mungkin Rafillah Bin Mardin
(1792H), hanya saja yang terahir ini satu satunya yang bertarikh Hijriah,
sedangkan yang lainnya bertarkh masehi.
Saya pribadi cukup surprise
dengan nama nama yang tertulis disana mengingat selama ini masyarakat setempat
mengenal makam tersebut tak lebih dari sebutan “Makam Junjungan Dusun” tanpa
nama. Dan tak ada seorang pun yang pernah menyebut siapa nama beliau
sebenarnya. Lebih surprise lagi karena semua tulisan nama nama dan tahun yang
ada adalah “barang baru” karena memang ditulis diatas sebuah batu nisan yang
terlihat masih baru, tulisan di dinding makamnya juga masih baru yang
sepertinya dibuat bersamaan dengan perbaikan bangunan tersebut.
Makam aslinya dulunya hanya
berupa gundukan tanah seperti sarang semut yang menggunung tinggi diatas sepasang
makam dengan nisan tanpa nama dan memang sudah diberi atap. Disebut sebagai
sepasang makam dikenali dari bentuk nisannya, kebiasaan masyarakat setempat
bahwa nisan bentuk bundar untuk makam laki laki dan nisan bentuk pipih untuk
makam perempuan, dan sudah lumrah bila makam suami istri biasanya berdampingan.
Nisan baru dengan nama dan tarikh nya itu diletakkan bersebelahan dengan nisan aslinya.
Lebih surpise lagi ketika
mendapati begitu banyak nisan nisan baru yang juga bertarikh abad ke 15 di sisi
kiri dan kanan bangunan tersebut, ditambah lagi beberapa makam yang berada agak
ke selatan, tiga diantaranya ditulis dengan nama “Cucu Fatahillah”. Cukup
penasaran dengan fakta yang ditemui hari itu.
Nisan nisan baru yang ada di sisi
kanan (utara) bangunan makam (gobah) terdiri dari : Wahyu Utama Prabu Jatiraga
(1792), Dharma Hastina (482m) Wali Allah (1604M), Hasni Barowawi (1792M),
Syahidan Bin Arya Sahdan Muria Binti Sumiyah (1560), Amatullah Raden Sahdan
(1792M), Anggap Wali (Tanpa tarikh), Raden Kusuma (1555M), Tasaka bin indrawati
(tanpa tarikh), Tassxxx (Tak terbaca dengan jelas) (1452m), K.Hardi Purwa
Dihardja (tanpa tarikh), Alang Wigiarta Kencana - Ki Mata Elang (1560m), R.J
Sri Gana (tak bertarikh), Sultan Wigiarta - Ki Wage (tanpa tarikh),
Di sisi selatan (sebelah kiri
Gobah) : Raden Rahaxxxx (tak bertarikh), Putri Kembang Rangga Tasaka (tanpa
tarikh), Raden Wiharja (1224m), Cut Arda Ratu Seribu (1481m), Prabu Satria
Sancaka (1792m), Ki Harja Purwa Dihardja (1542m), Raden Arda Tasaka (1560m),
Raden Batu Lambang (1420m). ditambah dengan lima makam yang berada kira kira di
di bagian depan Gobah terdapat empat makam cucu Fatahillah (tak bertarikh),
Hambiyatullah Fatah (1600m).
Cukup penasaran untuk sekedar
tahu siapa gerangan yang membuat dan memperbaiki gobah makam junjungan dusun
itu, tokoh masyarakat kah ? atau ketua adat kah? Atau pihak lain. Pembuat dan
pemasang nisan baru dengan tarikh yang sudah teramat tua di areal tersebut
sepertinya melupakan kaidah local tentang bentuk nisan yang lazim dipakai, tapi
usaha nya patut di appresiasi. Menjadi semakin penasaran mengingat begitu
akuratnya tarikh tahun yang ditulis di masing masing makam, pastinya si
pemasang memiliki sumber sejarah yang mumpuni.
Empat nisan bertarikh yang sama
tahun 1792 (abad ke 18), dua nisan bertarikh abad kw 17, lima nisan dari abad
ke 16, tiga nisan dari abad ke 15, satu nisan dari abad ke 13 dan yang paling
menarik adalah adanya satu nisan yang bertarikh tahun 482 atau abad ke 5
masehi. Bila itu benar boleh jadi makam itu
sebagai (salah satu) makam paling tua di tanah Sumatera.
Dari Ahli Waris
Sejauh ini saya tidak (atau
belum) menemukan sumber di kampung halaman yang mampu membeberkan secara akurat
tentang hal hal yang sudah disebutkan tadi, sampai dua hari setelah berziarah
kesana seorang teman lama berkunjung ke rumah dan ahirnya mengakui bahwa dialah
yang memasang nisan nisan baru lengkap dengan nama dan tahun tersebut sekitar
dua tahunan yang lalu. Dan dia mengaku bahwa semua sumber data dia dapatkan
langsung dari ahli waris atau keturunan dari yang bermakam di Gobah tersebut.
Karena si ahli waris kini masih menetap di Surabaya beliau menitipkan hal
tersebut ke teman lama yang satu ini.
Bahasan menjadi manarik karena
topik satu ini terbilang sangat jarang dibicarakan atau setidaknya belum pernah
kudengar sebelumnya. Sekian tahun lalu di kelurahan Gelumbang masih sempat
mengikuti satu kali perayaan yang disebut “sedekah pedusunan” sebuah acara yang
sebenarnya untuk memperingati berdirinya kampung tersebut dengan salah satu
seremoninya adalah ziarah beramai ramai ke makam leluhur, saat itu ziarah ke
gobah makam di Talang Manyan. Dalam kata sambutan yang disampaikan oleh tokoh
setempat saat acara pun tidak membeberkan apalagi mengulas tentang sejarah
kampung dengan jelas. Acara sedekah pedusunan itupun kini menghilang.
Lebih menarik lagi ketika kawan
lama ku itu menjelaskan bahwa dari informasi yang didapatkannya, Raden Mardin
Wiharjo yang bermakam di Gobah junjungan dusun merupakan pendatang dari
kerajaan di tanah Jawa dari trah Hamengkubuwana I Raja Mataram. Sampai dititik
tersebut setidaknya memberikan penjelasan bahwa memang sejak awal berdiri-nya
kampung tersebut, penduduk Gelumbang sudah memeluk agama Islam. mengingat
Mataram sendiri memang merupakan kerajaan Jawa meneruskan tahta Kesultanan
Pajang dan Demak. Diskusi malam itu memang terlalu singkat untuk membahas detil
termasuk tarikh tahun yang ditulis di masing masing makam.
Rupa bumi yang mulai
berubah
Para pendiri kampung tersebut
dulunya datang melalui jalur sungai hingga ahirnya tiba di tanah yang kini
menjadi kelurahan Gelumbang. Hanya saja sungai yang dulu mereka gunakan sebagai
jalur transportasi utama itupun sudah lenyap sejak berpuluh tahun yang lalu,
yang tersisa hanya rawa rawa yang biasa disebut rawang. Yang semakin hari
semakin menciut karena erosi, pendangkalan hingga pengurukan dan mulai
diperjualbelikan oleh beberapa individu kepada individu lainnya hingga mulai
marak pendirian bangunan dilahan yang semestinya dikonservasi sebagai badan
air.
|
Makam sesepuh Gelumbang di Talang Manyan. konon bernama Raden Kuning. |
Di seberang gobah (Makam)
junjungan dusun itu yang (dulunya) terpisah oleh sungai (dan kini sudah menjadi
rawa rawa) terdapat satu gobah lagi di tempat bernama Talang anyan yang berisi
satu makam yang konon merupakan makam dari Raden Kuning. Beliau juga merupakan
salah satu sesepuh pendiri kampung. Beberapa meter dari makam itu juga terdapat
makam tanpa nisan tanpa gobah selain berupa gundukan tanah yang diyakini
sebagai makam Bujang Juera. Juera dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
sebagai Juara, tapi dalam bahasa Belida, Juera (juga) bermakna sebagai Bandit,
Pencuri, Jawara, biang kerok. Hanya saja konon beliau dipanggil Bujang Juera
karena memang pencapaiannya yang Juara dalam segala hal. Wallohua’lam
Bissahawab.
Menyibak sejarah masa lalu yang
sudah berlalu berabad abad memang bukanlah hal yang mudah, apalagi bila sumber
yang ada hanyalah berasal dari sumber lisan yang disampaika turun temurun
layaknya sebuah tutur tinular. Kebanyakan dari hal seperti itu hanya dianggap
sebagai sebuah dongeng, legenda hingga mitos belaka. Sementara pembuktian
secara ilmiah sudah barang tentu membutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit.***
-----------------------------------
------------------------------------
Baca Juga